01 Agustus 2008

Bab I : Penciptaan Langit dan Bumi

Adalah dua Kekuatan besar yang muncul dari dalam Ketiadaan. Terang dan Gelap bersatu tanpa bercampur menciptakan Langit yang hampa dan Bumi yang padat. Bersama-sama mereka memulai Waktu yang menguasai segala sesuatu yang berada di bawah Langit dan di atas Bumi. Maka berkatalah Terang kepada Gelap, “Marilah kita bersatu, untuk menciptakan sesuatu yang mengisi Ketiadaan ini. Dan biarlah kita berkuasa atas ciptaan kita itu supaya tidak ada lagi Ketiadaan di dalamnya.”

Dan jawab Gelap kepada Terang, “Baiklah kita bersatu, tetapi janganlah kita saling bercampur supaya ciptaan kita itu dapat mengenali siapa yang menciptakannya, dan siapa yang menguasainya.”

Kemudian berkatalah mereka, “Jadilah dalam Ketiadaan suatu kehampaan dan kepadatan, yang dipisahkan oleh sebuah ruang. Sebuah ruang di mana kita dapat memulai kekuasaan, dan besama-sama memberinya kehidupan.” Maka terciptalah Langit yang hampa dan Bumi yang padat dan Dunia yang berada di tengah-tengahnya.

Bersama-sama Terang dan Gelap memulai Waktu, yang berkuasa atas Dunia, yang berada di bawah Langit dan di atas Bumi. Kemudian berkatalah Waktu, “Aku akan mengisi Dunia yang diciptakan ini, dengan Masa-masa dan Musim-musim yang saling berganti. Supaya aku selalu dapat mengetahui seberapa jauh perjalananku yang akan aku mulai ini. Biarlah Pagi memulai Masa, dan Musim Semi memulai Musim dengan kehangatan! Dan biarlah Siang akan mengikuti Pagi, dan Musim Panas akan menggantikan Musim Semi dengan panasnya! Biarlah kehangatan kembali mengisi Dunia, dengan datangnya Senja dan Musim Gugur! Sebab Masa dan Musim akan aku tutup dengan dinginnya Malam dan Musim Dingin dan kemudian akan aku buka kembali dengan Masa dan Musim yang baru!”

Kepada Langit dan Bumi, Terang dan Gelap memberikan Kehidupan. Dan datanglah Cinta kepada mereka sehingga semakin lama bertambah besarlah cinta Langit kepada Bumi. Dan karena begitu besar cintanya kepada Bumi, Langit menurunkan hujan benih dan hujan air sepanjang Masa dan Musim. Bumi mengeluarkan tetumbuhan dan limpahan air merendam Bumi sebagai Laut.

Berkatalah Langit kepada Bumi, “Setiap Masa aku lalui dengan memandang engkau, setiap Musim aku nikmati keindahan wajahmu. Sesungguhnya aku bahagia tercipta untuk mencintai engkau, meskipun tidak bisa sekalipun aku menyentuh tubuhmu. Biarlah aku memohon kepada Sang Waktu, yang sedang berjalan di dalam ruang yang memisahkan kita, supaya aku dapat menebarkan benih-benihku kepada engkau sebagai tanda ketulusan cintaku kepadamu.”

Kemudian Bumi menjawab. Katanya, “Sesungguhnya aku juga berbahagia, tercipta dan melewati Masa-masa bersama engkau. Wajahmu yang biru itu telah mempesonakan mataku, dan aku selalu menikmati senyuman manismu. Maka akan aku terima setiap benih yang engkau jatuhkan itu, dan aku akan memelihara dia di dalam perutku. Dan jika Sang Waktu berkenan mengabulkan permohonanku, akan aku lahirkan Putra-putramu sebagai makhluk yang hidup.”

Kemudian bersemilah benih-benih Langit menjadi pohon-pohon berdaun hijau dan semak-semak rumput yang menghiasi permukaan Bumi sehingga Bumi terlihat lebih cantik dan sejuk di mata Langit dan semakin besarlah cintanya kepada Bumi. Maka pada suatu Masa, Langit menurunkan hujan benih terbaiknya dan lahirlah Yeru, Sang Dewa Tertinggi, Bapa para Dewa, keluar dari perut Bumi. Ialah yang ditakdirkan oleh Sang Waktu untuk memiliki dan menguasai Bumi. Yang oleh tangannya, dibendungnya Laut dengan dinding batu yang tinggi supaya air hujan yang turun dari Langit tidak terbuang sia-sia ke dalam Ketiadaan.

Bernyanyilah Yeru dengan suara merdu,
Karena Langit adalah ayahku
dan Bumi adalah ibuku.
Benih terbaik telah dijatuhkan Langit
demi cintanya kepada Bumi.

Di dalam perut ibuku aku dierami
di dalam Ketiadaan aku dipelihara.
Hingga pada Masanya aku dikeluarkan,
dilahirkan oleh Bumi untuk Langit.”

Maka cemburulah Langit dan hampir runtuh menimpa Bumi untuk menelan putranya ke dalam Ketiadaan. Tetapi Bumi sangat mengasihi Sang Dewa, melindungi dia dan menyangga Langit dengan keempat gunungnya. Dan marahlah Bumi atas kecemburuan Langit sehingga diguncangkannya tubuhnya dan dilemparkannya batu-batu api ke Langit sehingga menyesallah Langit. Dan Sebagai tanda penyesalannya, Langit menurunkan kabut dan angin sejuk ke atas Bumi setiap Malam dan menjelang Pagi.

Berkatalah Bumi, “Haruskah kau marah, wahai Kekasihku? Haruskah engkau datang untuk menelan Putramu? Yang lahir dari Benih Terbaik yang engkau berikan kepadaku, dan yang aku terima sebagai bukti cintaku kepada engkau. Ia telah ditakdirkan untuk mewarisi tubuhku, dan kepadanya telah ditetapkan untuk menguasai aku. Maka marahlah kepada Sang Waktu, jika engkau berani, bukan kepadaku dan bukan kepada Putramu.”

Bab II : Dewa-dewa Perkasa

Oleh Bumi, lahirlah Dewa-dewa perkasa untuk Yeru, Sang Dewa Tertinggi. Dan kepada merekalah para Pencipta Dunia berkenan. Kekuatan Terang membuat yang seorang terlihat indah dengan selubung cahayanya, sedangkan Kekuatan Gelap selalu menyelimuti yang lain dengan bayang-bayang. Dan dengan Kekuatan yang meliputi mereka itu, putra-putra Yeru menaklukkan Masa-masa. Sang Dewa Terang menguasai Siang dengan Kekuatan Terangnya, sedangkan Sang Dewa Gelap menguasai Malam dengan kekuatan Gelapnya.

Berkatalah Terang, “Inilah pilihanku. Yang terbaik dari yang dilahirkan oleh Bumi. Aku berkenan kepadanya. Kuberikan selubungku untuk menghiasi parasnya. Dengan demikian aku ada pada dirinya.”

Berkatalah juga Gelap, “Inilah pilihanku, Yang terbaik dari yang dilahirkan oleh Bumi. Aku berkenan kepadanya. Kuberikan selimutku untuk melindungi tubuhnya. Dengan demikian aku ada pada dirinya.”

Adapun Waktu memulai perjalanannya dari Timur dan menempatkan Pagi untuk memandu dia dengan cahaya emasnya, Siang akan menyertai perjalanannya dan Senja kelabu akan menyambut dia di Barat dan kemudian Malam akan mengisi masa-masa istirahatnya dengan nyanyian merdu.

Tetapi terjadilah perselisihan antara Siang dan Malam sebab Malam ingin menyertai perjalanan Sang Waktu dan memaksa Sang Waktu melanjutkan perjalanannya bersama dirinya dan tidak membiarkan Sang Waktu beristirahat. Maka berkatalah Sang Waktu, “Wahai Malam, apakah yang sedang terjadi pada dirimu, sehingga engkau mengganggu tidurku, dan memaksa aku melanjutkan perjalanan jauh ini? Kakiku sudah lelah, sebab aku telah menyusuri Dunia ini, setapak demi setapak dari Timur ke Barat. Berhentilah mengganggu aku, Dan nyanyikanlah nyanyianmu yang merdu itu, supaya rasa penat ini segera hilang dari aku!”

Tetapi jawab Malam, “Engkau lelah karena telah berjalan jauh, dan aku pun lelah karena selalu menyanyikan nyanyian untuk engkau, nyanyian yang sama untuk mengantar engkau tidur. Mengapa harus aku yang terjaga, dan menyanyikan nyanyian ini sendiri, di tengah kabut yang diturunkan oleh Langit? Wahai Sang Waktu, berikanlah aku kesempatan, untuk menemani perjalananmu, karena aku ingin berbincang-bincang denganmu!”

Jawab Sang Waktu, “Aku telah menetapkan, dan aku tidak akan pernah mengubah ketetapanku, sebab ketetapanku adalah untuk selama-lamanya. Bahwa Pagi memandu aku dan Siang menyertai pejalananku, Senja menyambut aku dan kau menidurkan aku, memulihkan rasa penatku dengan nyanyianmu yang merdu. Jika aku mengubah tugas masing-masing dari kamu, berarti aku telah mengubah Dunia yang telah diciptakan ini, sehingga Dunia akan binasa karena itu. Maka puaslah engkau dengan tugasmu, wahai Malam, sebab engkau mendapatkan karunia suara yang merdu yang tidak dimiliki oleh Masa yang lain!”

Tetapi Malam tidak menuruti perkataan Sang Waktu dan memilih untuk tidak menyanyikan nyanyiannya yang merdu sehingga Sang Waktu tidak bisa beristirahat. Maka marahlah Sang Waktu dan berkata, “Betapa bodohnya dirimu, wahai putraku, engkau ingin supaya aku mengubah Dunia, dan aku akan melakukannya untuk engkau. Engkau akan terdiam untuk selama-lamanya, dan suaramu yang merdu tidak akan keluar lagi, yang ada hanya keheningan yang terucap dari mulutmu. Aku tidak akan tidur untuk selama-lamanya, dan akan terus membuka mataku untuk terus berjalan, bersama kawan-kawan baru yang menyertai perjalananku. Sebab aku tidak akan memilih engkau ataupun Siang, untuk menyertai perjalananku yang panjang ini, dan kekuasaanmu akan beralih kepada mereka.”

Kemudian ketika Malam berganti Pagi, pergilah Sang Waktu seorang diri dan mengambil Dewa-dewa Perkasa, dua putra Yeru yang dilahirkan oleh Bumi, untuk menyertai perjalanannya. Maka marahlah Siang karena merasa telah dikhianati oleh Sang Waktu. Bersama Malam ia menantang kedua Dewa Perkasa itu dan terjadilah pertarungan sengit. Akhirnya takluklah kedua Masa itu di depan kaki mereka dan menyerahkan kekuasaannya kepada mereka. Siang memberikan kekuasaannya kepada Sang Dewa Terang dan Malam menyerahkan kepada Sang Dewa Gelap.

Tetapi Pagi yang selalu berdiri di Timur dan Senja yang selalu berdiri di Barat terpesona oleh keindahan selubung cahaya Loze, Sang Dewa Terang Siang sehingga membuat Sang Dewa Gelap Malam cemburu. Maka setelah Senja berlalu dan sebelum Pagi menampakkan dirinya, datanglah Sang Dewa Gelap Malam menculik Pagi dan Senja dan menyembunyikan mereka di dalam perut Bumi.

Katanya, “Apakah aku tidak memesonakan matamu, wahai Masa-masa? Apakah selimut bayang-bayangku tidak seindah selubung cahayanya? Tidakkah aku juga telah menaklukkan Malam dengan kekuatanku, seperti dia yang telah menaklukkan Siang dengan kekuatannya? Akankah aku menjadi yang tersisihkan dari semua makhluk sebab tiada yang mau mendekati aku karena penampakanku?. Pohon-pohon selalu menjadi layu ketika melihat aku, dan selalu berpaling kepadanya yang berselubungkan cahaya.”

Maka jawab kedua Masa itu, “Apakah engkau cemburu terhadap dia, wahai Dewa perkasa! Apakah engkau juga ingin dicintai seperti dia yang kami cintai? Sesungguhnya kau juga memiliki pesona yang indah, tetapi tersembunyi yang terhalang oleh bayang-bayangmu. Sebab Kekuatan Gelap telah menyembunyikan pesonamu. Haruskah engkau bangga memilikinya? Ia telah mengubah jiwamu menjadi dingin dan sepi, membuat makhluk-makhluk enggan menghampiri engkau.”

Atas permintaan Sang Waktu, pergilah Sang Dewa Terang Siang ke seluruh penjuru Bumi untuk mencari Pagi dan Senja. Dan karena terang cahaya Siang tidak dapat menyembunyikan apapun yang tampak di atas Bumi maupun di bawah Bumi, maka berhasillah ia menemukan kedua Masa yang hilang itu sehingga marahlah Sang Dewa Gelap Malam dan mengumumkan perang melawan Loze atas nama Kekuatan Gelap. Dan dimulailah perseteruan antara Kekuatan Gelap dan Kekuatan Terang, dua Kekuatan besar yang dahulu pernah bersatu menciptakan Dunia, ketika Sang Dewa Gelap Malam berencana hendak merusak dan membinasakan Dunia yang telah tercipta.

Berkatalah Sang Dewa Gelap Malam, “Binasalah engkau, wahai Terang! Lenyaplah engkau untuk selama-lamanya ke dalam Ketiadaan abadi! Sebab sungguh besar kekecewaanku terhadap engkau, memberikan selubung cahayamu kepadanya. Akan aku binasakan segala sesuatu yang pernah kita ciptakan, dan akan aku lemparkan bersama engkau ke dalam Ketiadaan. Biarlah segala sesuatu tiada dan hanya aku yang ada, dan akan aku ciptakan Duniaku sesuai dengan kehendakku sendiri.”

Kemudian datanglah Yeru mencegah dia dan membiarkan Bumi menelan dia hidup-hidup untuk selama-lamanya supaya Malam tidak bisa lagi keluar untuk menyentuh Dunia. Tetapi Sang Dewa Gelap Malam berhasil menyeret Senja dan membawa dia ke dalam Ketiadaan abadi di dalam perut Bumi. Berkatalah Yeru, “Biarlah Bumi mengurung dia di dalam Ketiadaan, supaya Dunia selamat dan tidak binasa oleh dia. Dan biarlah ia menanggung hukuman atas kesalahannya sendiri sebab kecemburuan telah membutakan matanya.”

Bab III : Penciptaan Manusia

Dan terjadilah Masa-masa Tanpa Kegelapan, ketika kegelapan Malam tidak lagi mencapai permukaan Bumi. Pada Masa itu, Pagi melahirkan Matahari, yang mewarisi Kekuatan Terang dan bersinar sepanjang Masa untuk Sang Dewa Terang Siang. Dan sebagai hadiah pernikahan mereka, Sang Dewa Tertinggi, putra Langit dan Bumi, menciptakan segala jenis makhluk berkaki empat, sepasang menurut jenisnya, memberikan mereka kehidupan dan kemudian mempersembahkannya kepada Sang Dewa Terang Siang.

Dan Alam mengiringi dengan nyanyian,
Sesungguhnya masa-masa itu adalah masa-masa yang paling indah,
ketika Matahari putra Sang Terang dilahirkan oleh Pagi.
Kegelapan tidak pernah lagi menyentuh Dunia,
dan makhluk-makhluk yang hidup mulai diciptakan.

Yeru membentuk kuda yang cepat dan kuat
dan mengaruniakan kekuatan pada kaki mereka.
Kepada rusa penghuni hutan ia memberikan kelincahan,
dan tanduk yang indah sebagai mahkota.

Rahang yang besar diberikannya kepada beruang,
dan cakar yang tajam kepada singa penguasa padang.
Serigala memperoleh taringnya sebagai pedang,
senjata-senjata terbaik dari Penciptanya.”

Tetapi Loze tidak berkenan kepada hadiah pernikahan itu dan berkata ia kepada Yeru, “Wahai, Putra Langit dan Bumi, sesungguhnya aku memandang ciptaanmu baik adanya. Tetapi engkau terlalu banyak memberikan karunia kepada ciptaanmu, sehingga mereka terlalu besar dan kuat. Wahai, Putra Langit dan Bumi, sesungguhnya aku takut akan karunia yang mereka miliki. Karunia yang akan membuat mereka saling memegahkan diri, sehingga mereka akan melupakan aku. Maka ciptakanlah untuk aku makhluk yang terindah, yang berjalan tegak dengan kedua kakinya! Makhluk yang kedua tangannya dapat direntangkan ke Langit sehingga ia dapat datang dan berbakti kepadaku.”

Kemudian Yeru melakukan apa yang diminta oleh Loze, menciptakan berbagai jenis burung yang bersayap dan memberikan kekuasaan atas Dunia di bawah Langit kepada mereka serta menyerahkan ciptaannya itu di depan Sang Terang. Dan Alam mengiringinya dengan nyanyian,
Diciptakannyalah burung-burung dengan sayap yang terentang,
dan diberikannyalah mereka karunia untuk terbang melintasi Langit.
Kekuatan dan keberanian diberikan kepada rajawali,
dan kepada merpati diberikan keanggunan dan kecantikan.”

Tetapi Loze tidak berkenan lagi atas ciptaan Yeru. Berkatalah ia, “Wahai Putra Langit dan Bumi, sesungguhnya aku memandang ciptaanmu baik adanya. Tetapi aku tidak menginginkan makhluk yang berkuasa atas Dunia, yang mampu terbang dengan wujud dan karunia yang berbeda. Aku hanya menginginkan makhluk tanpa karunia, tanpa senjata dan tanpa kekuatan ada pada dia. Supaya aku bisa memberikan Jiwa yang Bersinar kepadanya, dan mereka akan datang berbakti kepadaku.”

Maka diciptakannyalah oleh Yeru sepasang Manusia dari tanah Bumi, dengan kedua kaki yang berjalan tegak serta kedua tangan yang bisa direntangkan ke Langit. Yeru tidak memberikan mereka senjata atau perlindungan apapun. Cakar atau taring tidak ada pada mereka, bahkan bulu yang tebal pun tidak diberikan kepada mereka. Mereka lemah dan tidak diberikan kekuatan atau kelincahan.

Tetapi Yeru memandang ciptaannya itu kurang layak untuk dipersembahkan kepada Sang Terang sehingga berkataah ia kepada Loze, “Wahai, Sang Terang, aku telah melakukan apa yang kaukehendaki. Aku telah menciptakan makhluk, sesuai dengan apa yang telah kauperintahkan. Sepasang makhluk telah kuciptakan dan kuberi nama Zem, tetapi tidak seindah makhluk-makhluk yang telah aku ciptakan. Biarkanlah aku memahkotai kepalanya dengan rambut, sebagai hiasan yang membuat mereka terlihat indah.”

Maka dikabulkannyalah permohonan Sang Dewa Tertinggi dan berkenanlah Loze kepada ciptaan baru itu sehingga dikaruniakannyalah masing-masing dari mereka sebuah Jiwa yang Bersinar dan menuntut bakti mereka kepada Sang Terang. Dan kepada sepasang Manusia itu datanglah Kebijaksanaan dan Pangetahuan sehingga mereka mampu mengenali diri mereka sebagai Nete dan Yehi.

Bab IV : Matahari dan Manusia-manusia Pertama

Adapun Yeru menciptakan makhluk-makhluknya dari Tanah Bumi sebagai daging mereka dengan Batu dan Air sebagai tulang dan darah mereka. Maka tercongkellah kulit dan daging Bumi dan terbukalah pintu bagi Sang Dewa Gelap Malam untuk melarikan diri. Bersama Senja dan Bulan yang terlahir untuknya, keluarlah ia dari perut Bumi. Tetapi butalah matanya karena silaunya sinar Matahari ketika mencapai permukaan Bumi. Maka marahlah Senja atas kebutaan yang menimpa Sang Dewa Gelap Malam sehingga Senja selalu berusaha melenyapkan Matahari.

Berkatalah Senja kepada Matahari, “Terkutuklah kau, wahai Putra Loze, karena cahayamu telah membutakan mata Kekasihku! Biarlah Langit menarik engkau untuk selalu datang kepadaku, supaya aku bisa memadamkan apimu dan membinasakan jiwamu. Sebab bapamu tidak menyelamatkan aku ketika aku berada di bawah sana, bahkan mungkin ia telah melupakan aku untuk selama-lamanya. Biarlah Pagi akan selalu meratapi kematianmu, dan menghentikan tawa kemenangannya atas diriku.” Kemudian dibawanyalah Sang Dewa Gelap Malam bersama putrinya ke Ujung Barat Dunia, tempat ia seharusnya berdiri.

Tetapi oleh sang Waktu, Matahari dikaruniai Keabadian sehingga setelah mati di tangan Senja, ia dapat dilahirkan kembali oleh Pagi di Timur. Berkatalah Sang Waktu kepada Senja, “Sekali-kali engkau tidak bisa membinasakan dia untuk selama-lamanya sebab telah aku berikan Keabadian kepadanya untuk menerangi jalanku. Biarlah Matahari menjalani takdirnya setiap hari, terlahir kembali setelah engkau mengambil kehidupannya.”

Dan berakhirlah Masa-masa Tanpa Kegelapan. Malam mulai menguasai Masa setelah kematian Matahari dan sebelum Matahari dilahirkan kembali oleh Pagi. Di tengah kebutaan matanya dengan bantuan Senja, Sang Dewa Gelap Malam membangun Kekuatannya di Ujung Barat dan menciptakan makhluk-makhluk Kegelapan sebagai bala tentara perangnya melawan Kekuatan Terang di Timur. Terlihatlah semua itu oleh Matahari dan diberitahukannyalah tentang rencana perang itu kepada ibu-bapanya.

Setelah Senja melihat makhluk-makhluk fana yang diciptakan oleh sang Dewa Tertinggi. Datanglah ia kepada suaminya, Sang Dewa Gelap Malam dan berkata, “Wahai suamiku, wahai kekasihku! Sang Penguasa Kegelapan yang aku cintai. Telah aku lihat segalanya dengan kedua mataku, beberapa makhluk berkeriapan di atas Bumi. Yeru telah menciptakan mereka dari tanah Bumi, dan memberikan mereka kehidupan. Mereka dipersenjatai dengan tubuh yang besar dan kuat, dan dipersiapkan untuk melawan kita. Maka baiklah kita menciptakan makhluk-makhluk kita, dan memberikan mereka kehidupan. Tubuh yang besar dan perkasa juga ada pada mereka, sebagai bala tentara perang kita melawan Sang Terang. Dengan sepasang sayap mereka terbang di atas Bumi, supaya Langit pun takut kepada kita yang menciptakan mereka. Biarlah mereka menyerang Daratan Bumi terlebih dahulu, membinasakan makhluk-makhluk Yeru dengan nafas mereka.”

Maka diciptakannyalah oleh Sang Dewa Gelap Malam Naga-naga raksasa dalam jumlah besar dari Batu karang dan lumpur panas. Dikaruniakannyalah mereka dengan sayap dan nafas yang menyebarkan Wabah Kematian bagi yang menghirup. Dan dipersenjatainya mereka dengan tanduk-tanduk yang terpasang pada punggung dan ekor mereka. Kemudian Senja membesarkan mereka seperti anak-anaknya sendiri.

Setelah dikaruniai jiwa yang bersinar oleh Sang Dewa Terang Siang, maka kepada sepasang Manusia itu datanglah Kebijaksanaan dan Pengetahuan, yang tidak datang kepada jenis makhluk lainnya sehingga mereka menamakan diri mereka sendiri Nete dan Yehi. Dan oleh merekalah segala jenis makhluk ciptaan Sang Dewa Tertinggi diberi nama. Dan datang pula Cinta kepada mereka sehingga membuat mereka saling mencintai. Maka bertambahlah besarlah cinta Nete kepada Yehi dan setiap hari dinyanyikannyalah sebuah lagu bagi kekasihnya itu sehingga lahirlah bagi Nete tiga orang putra, bapa-bapa Manusia. Dan kepada putra-putra mereka diajarkannyalah Kebijaksanaan dan Pengetahuan.

Inilah nyanyian cinta Nete kepada Yehi,
Kemilau rambutmu seperti cahaya Matahari,
yang menerangi Dunia setiap harinya.
Halus kulitmu seperti permukaan Air,
yang mengalir tenang dari mata air abadi.

Buah dadamu seindah gunung-gunung,
dengan puncaknya yang selalu tertutup awan.
Suaramu merdu seperti aliran Sungai,
sungguh lembut menyejukkan hati yang kalut.

Gemulai gerakanmu seperti semak tertiup Angin,
meliuk-liuk indah di padang hijau.
Matamu bagaikan batu-batu permata yang indah,
yang berkilau-kilauan diterpa cahaya Matahari.

Bibirmu merah semerah buah Lened,
sungguh indah seindah kata-kata yang keluar darinya.
Wahai, Yehi, makhluk tercantik yang pernah kutemui,
kecantikanmu mengalahkan segala yang ada di permukaan Bumi.

Bahkan cahaya Pagi tidak mampu mengalahkan keindahanmu,
yang merupakan karunia pemberian Sang Dewa.
Maka aku bersyukur kepada Putra Langit dan Bumi,
yang telah menciptakan engkau hanya untukku.”

Maka jawab Yehi,
Kau juga indah di mataku, wahai kekasihku,
Ciptaan terindah yang pernah ada di permukaan Bumi.
Tubuhmu yang perkasa cukup untuk melindungiku,
dan keberanianmu menghadapi bahaya menjaminku.

Lengan-lenganmu seperti batang pohon Menol,
kuat dan tidak bergerak tertiup Angin.
Matamu seperti cahaya emas Pagi,
yang menyibakkan kegelapan di hatiku.

Suaramu seperti gemuruh ombak lautan,
yang mampu memecahkan kesunyianku
Kata-katamu sungguh meyejukkan jiwaku,
membawa damai kepadaku dan kepada anak-anakku.”

Adapun Matahari menjalani takdirnya setiap hari, dilahirkan oleh Pagi di Timur menempuh perjalanan melintasi Laut dan daratan Bumi untuk mati di tangan Senja di Barat. Suatu hari, kelihatanlah oleh Yehi keindahan selubung cahaya Matahari sehingga jatuh cintalah Yehi kepadanya. Maka keesokan harinya, ketika Pagi melahirkan Matahari, pergilah Yehi meninggalkan suami dan anak-anaknya ke Laut Timur untuk menyambut kedatangan Matahari di Timur. Tetapi matilah ia tenggelam di Laut Timur.

Ketika Matahari sedang menyeberangi Laut Timur, ditemukannyalah tubuh Yehi dan menangislah ia, sebab wanita itu telah mengorbankan diri untuk menyambut kedatangannya ke Dunia. Katanya, “Wahai, Manusia, betapa indah cahaya jiwamu, sehingga kau telah mengorbankannya untukku. Sesungguhnya kematianmu tidak akan sia-sia, sebab kau telah membuka hatimu untuk menerimaku. Tidak ada makhluk di Dunia ini yang seperti dirimu, yang membuka tangannya menyambut kehadiranku.”

Kemudian dibawanya tubuh itu ke hadapan Sang Waktu. Dan kepada Sang Waktu, Matahari meminta menukarkan Keabadiannya dengan Kehidupan untuk Yehi, yang telah setia menantikan kehadirannya. Tetapi Sang Waktu menolak, dan hanya dapat memberikan kesempatan bagi makhluk fana itu untuk hidup sekali lagi. Berkatalah Sang Waktu, “Takdirku adalah ketetapanku yang tak dapat diubah, bahkan diriku sendiri tidak berkuasa menukarkannya. Karena kebodohannya, ia telah membunuh dirinya sediri, dengan harapan yang sia-sia untuk bertemu denganmu. Akankah kau menukarkan Keabadianmu untuknya, dan memberikan kehidupan padanya untuk kebodohan itu? Sesungguhnya belum saatnya bagi jiwanya untuk kembali ke Langit, sehingga aku akan memberikan kehidupan sekali lagi baginya.”

Maka bangkitlah Yehi dari kematiannya dan sebagai ungkapan terima kasihnya, ia menyerahkan tubuhnya untuk dimiliki Matahari sebab ia sangat mencintai Matahari. Matahari pun tanpa sepengetahuan Sang Waktu, menerima cintanya sebab wanita itu merupakan makhluk fana terindah yang pernah ia temui. Berkatalah Yehi, “Sesungguhnya aku adalah makhluk yang paling berbahagia, mendapatkan kesempatan hidup sekali lagi. Maka kuserahkan tubuhku kepada ia yang menolongku, kepada kekasihku yang lama kunantikan kehadirannya.”

Tetapi marahlah Sang Dewa Terang Siang melihat perbuatan putranya itu sehingga dihukumnyalah Matahari. Dan matilah Yehi setelah melahirkan seorang putra bagi Matahari. Kemudian Matahari tidak diperkenankan lagi berjalan di atas permukaan Bumi tetapi di bawah permukaan Langit supaya tidak lagi bersentuhan dengan makhluk fana lagi. Berkatalah Loze, “Wahai Matahari, ternyata cahayamu tidak seindah kelakuanmu, sebab kau telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Waktu. Sesungguhnya makhluk fana dan makhluk abadi tidak boleh bersatu, sebab hal itu akan membawa Dunia ke dalam kebinasaan. Maka kau tidak akan menemui makhluk fana seperti dia lagi, sebab Bumi tidak akan memberikan engkau tempat berpijak. Di bawah Langitlah kau akan menempuh perjalanan takdirmu, sehingga kau tidak bisa mengganggu kehidupan Manusia.”

Adapun sangat bersedihlah hati Nete kehilangan wanita yang sangat dicintainya, sehingga pergilah ia meninggalkan putra-putranya di atas gunung dan mengembara untuk mencari kekasihnya itu. Tetapi matilah ia di dalam pencariannya itu. Maka Sang Dewa Terang Siang mengingatnya dan berbelas kasihan kepadanya. Diambilnya jiwa Manusia itu dan ditempatkannya di Langit Timur sebagai bintang yang bercahaya ketika Malam tiba bersanding dengan jiwa istrinya, Yehi. Dan Bumi menelan tubuh fananya sebab ia diciptakan dari daging Bumi.

Maka bernyanyilah Alam,
Lihatlah dua bintang di Langit Timur itu,
bercahaya kemilau sepanjang Masa.
Bintang Nete dan Yehi yang menjadi saksi,
atas kebaikan hati Sang Terang kepada Manusia.”

Bab V : Putra Matahari

Adapun Sang Dewa Tertinggi memelihara putra Matahari di Pulau Timur dan diberi nama Niz, sebab itulah namanya. Kepadanya Keajaiban datang yang memampukannya mengendalikan Unsur-unsur Alam dengan Kekuatan seperti yang dimiliki oleh seorang Dewa sehingga Niz menjadi kesayangan Yeru.

Pada suatu Masa, datanglah Sang Dewa Gelap Malam menculik Musim Semi supaya tidak datang menggantikan kekuasaan Musim Dingin sehingga seluruh Daratan Bumi mengalami kebekuan abadi yang sangat menyengsarakan makhluk-makhluknya. Maka diutusnyalah Niz oleh Sang Dewa Tertinggi untuk pergi ke Barat menyelamatkan Musim Semi dan segera mengakhiri Musim Dingin yang panjang itu.

Dan pergilah Niz dengan sayap anginnya melintasi Langit seperti burung yang terbang. Di tengah perjalanannya itu, ia bertemu dengan Matahari, bapanya, yang bersembunyi di antara kabut Musim Dingin. Matahari mengenalnya tetapi ia tidak mengenal Matahari. Berserulah Matahari memanggilnya, “Wahai makhluk yang indah! Keindahanmu mengingatkanku kepada kekasihku. Dia yang dengan setia menantikan kedatanganku setiap Pagi, yang keindahannya melebihi apa yang ada di permukaan Bumi. Sesungguhnya kehangatannya sangat kubutuhkan saat ini, ketika Musim Dingin hampir membekukan tubuhku dan meredupkan cahayaku. Tetapi ia telah hilang, diambil dari padaku, dan aku menanggung hukuman atas perbuatanku kepadanya.”

Jawab Niz, “Wahai Penguasa Siang, siapakah dia yang kau maksud itu? Siapakah dia yang keindahannya menyerupai diriku? Apakah kehangatan Musim Semi yang sangat kaubutuhkan untuk menghangatkan tubuhmu kembali dan menyalakan cahayamu kembali? Sesungguhnya aku sedang dalam perjalanan ke Barat untuk membebaskannya dari cengkeraman Sang Dewa Gelap Malam. Jika kau mau, aku akan membawanya kepada engkau, sebelum tulang-tulangmu benar-benar membeku.”

Tetapi berkatalah Matahari, “Ribuan Masa kulewati sendiri menyusuri perut Langit ini, ribuan Musim telah kulewati tanpa kehadiran kekasihku. Sejauh Timur dari Barat kususuri, tanpa harapan bertemu dengannya lagi. Tetapi sekarang aku menemukan engkau, wahai Putraku, yang diberkati dari seluruh makhluk Dunia. Kiranya kehadiranmu dapat menyembuhkan duka citaku atas hilangnya kekasihku, yaitu dia yang telah melahirkan engkau.”

Kemudian berserulah Niz, ”Jika benar kau adalah bapaku, bahagia pulalah hatiku mendengarnya. Betapa bangganya diriku memililiki bapa seorang Putra Dewa, yang menguasai Siang dengan cahaya Terangnya.”

Sahut Matahari, “Sesungguhnya aku pun bangga memiliki putra seperti engkau, yang datang menunggangi angin dengan gagahnya. Melintasi puncak-puncak gunung dan awan-awan putih, bagaikan seekor rajawali yang membelah Langit. Dan kau akan pergi untuk menghadirkan Musim Semi kembali, sebelum Dunia binasa dalam kebekuan abadi. Keberanianmu bagaikan keberanian Sang Dewa Terang Siang, yang pergi untuk mencari Masa-masa yang hilang dahulu kala. Kiranya Kemenangan berpihak kepada engkau, sehingga kau berhasil membawanya kembali ke Dunia ini. Aku takkan membiarkan engkau sendiri, dan kau akan pergi ke Barat bersamaku. Biarkanlah aku menyertai engkau menuju kemenangan dan kau mengantar perjalananku menuju kematianku. Maka pejamkanlah matamu dan masuklah ke dalam selubung cahayaku ini supaya Sang Dewa Gelap Malam tidak bisa melihat kedatanganmu.”

Kemudian Matahari mengantar Niz pergi ke Negeri Kegelapan melalui Gerbang Hitam tanpa diketahui oleh siapapun. Selama perjalanannya, Matahari menceritakan kepada putranya kisah perjumpaannya dengan Yehi, sehingga ia harus menanggung kesalahan karena telah melakukan hal terlarang, bersatu dengan makhluk fana.

Tetapi Matahari tidak menyesalinya sebab katanya, “Biarkanlah aku menanggungnya, sebab tidak pernah kusesali perbuatanku itu. Aku telah kehilangan dia untuk selama-lamanya, tetapi sekarang aku menemukannya di dalam dirimu. Wahai, putraku, kesayangan Sang Dewa Tertinggi, Biarkanlah aku memeluk engkau dengan erat! Sebab sebentar lagi aku akan mengakhiri hidupku, menjalani takdir menghadapi kematianku. Biarkanlah aku menjadi sumber kekuatan bagi keturunanmu, sebab dengan demikian aku akan menyertai engkau selalu! Sambutlah aku ketika Pagi melahirkanku kembali, seperti ibumu yang selalu menantikan kehadiranku.”

Setelah sampai di tempat yang ditentukan, berkatalah Matahari, “Pergilah, putraku! Pergilah! Biarkanlah aku mati di sini! Biarkanlah esok aku terlahir kembali melihat kemenanganmu, menghadirkan kembali Musim Semi yang hangat.” Setelah itu dilepaskannyalah oleh Matahari putranya itu dan berlalulah ia menghadapi takdir kematiannya di tangan Senja.

Maka sangat bersedihlah hati Niz melihat kepergian bapanya sehingga jawabnya, “Wahai putra Sang Terang, jika Sang Waktu menghendakinya, biarkanlah aku yang menggantikan engkau menjalani takdir! Sesungguhnya kusesali betapa singkatnya pertemuan kita ini, sehingga aku tidak bisa membalas kebaikanmu. Maka akan kulakukan apa yang kauminta, sebab kau adalah bapaku, putra Sang Terang. Aku dan anak-anakku akan selalu menantikan kehadiranmu, dan menyambut kelahiranmu dengan gegap gempita.”

Adapun Musim Semi terkurung di dalam sebuah gua di Gunung Bayang-bayang terjaga di antara kegelapan dan kebekuan abadi, mendendangkan nyanyian sukacita sambil menari gembira dan menumbuhkan tunas-tunas muda dan mencairkan es di sekitar tempatnya berdiri. Suara nyanyiannya menggema melalui lubang kawah Gunung Bayang-bayang menghangatkan Dunia sehingga kedengaranlah oleh Musim Dingin. Maka datanglah Musim Dingin dan berkata, “Apa yang sedang kaulakukan, Wahai Musim Semi, menyanyikan nyanyianmu yang bodoh ketika giliranmu belum tiba? Hentikanlah nyanyianmu itu dan tidurlah, sebab akulah yang sedang berkuasa atas Dunia ini! Tidurlah untuk selama-lamanya bersama Musim Panas dan Musim Gugur, sebab kekuasaanku tidak akan pernah berakhir. Sebab Sang Dewa Gelap Malam berpihak kepadaku, dan memberiku kekuatan untuk melawan takdir Sang Waktu.”

Tetapi jawab Musim Semi dengan mendendangkannya dalam sebuah nyanyian,
Bukankah seharusnya kau yang tertidur,
sebab inilah giliranku untuk membangunkan tunas-tunas yang lama tertidur?
Tidak ada gunanya kau mengurungku di sini,
sebab dengan nyanyian aku akan menghangatkan makhluk-makhluk Dunia ini.
Lihatlah keluar dan sadarilah kekalahanmu,
danau dan sungai yang membeku akan segera mencair!
Sebab kekuatan Sang Dewa Gelap Malam yang diberikan kepada engkau,
tidak akan mampu melawan takdir Sang Waktu.
Lihatlah, betapa bodohnya dirimu,
percaya bahwa Kekuatan Gelap akan berpihak kepada engkau!
Ia hanya akan menjerat dan memperbudak engkau,
dan akan membuangmu jika menurutnya engkau tidak berguna lagi.”

Kemudian marahlah Musim Dingin mendengar perkataan itu dan dikeluarkannyaah pedang es dan disentuhkannyalah mata pedang itu pada lidah Musim Semi sehingga membekulah lidah Musim Semi dan tidak bisa lagi bernyanyi dan berkata-kata. Maka menjeritlah Musim Semi kesakitan sehingga dengan mudah Niz mengenali suaranya dan menemukannya tidak berdaya di bawah kaki Musim Dingin.

Berkatalah Musim Dingin, “Sekarang kau tidak bisa menyanyikan nyanyianmu yang bodoh lagi, dan kehangatanmu tidak akan pernah mencapai permukaan Bumi lagi! Diamlah dan tidurlah supaya kau tidak merasakan kesakitan itu, dan janganlah kau terbangun untuk selama-lamanya.”

Tiba-tiba tampillah Niz membela Musim Semi dan mengejutkan Musim Dingin, katanya, “Tidak seharusnya kau berbuat demikian, tidak seharusnya kau menyiksa saudaramu sendiri. Bukankah Sang Waktu melahirkan kamu untuk saling mengganti, dan memberikan kekuasaan yang sama untuk menguasai Dunia? Maka puaslah kau dengan seratus Siangmu dan seratus Malammu, dan biarkanlah dia menggantikan kekuasaanmu! Sebab keserakahanmu telah membuat Dunia di ambang kehancuran, sehingga suatu saat kau tidak bisa menguasainya lagi.”

Tetapi Musim Dingin menyahut, “Siapakah kau, Wahai makhluk fana, sehingga kau berani datang ke tempat ini menantangku? Tidakkah kau memiliki rasa takut, sebab kekuatanmu tidak sebesar kekuatanku? Dengan mudah aku akan membekukan tubuhmu yang fana, dan menghancurkan jiwamu, karunia dari Sang Terang. Sebab dalam kefanaan kau tidak akan bisa melawanku, sehingga yang kau dapatkan hanyalah kematian.”

Kemudian Niz menjawab dan memperkenalkan diri, “Aku adalah Niz, putra Matahari, yang datang ke sini untuk menyelamatkan Musim Semi. Aku akan merebutnya dari engkau, dan mengembalikan kekuasaannya atas Dunia ini. Bapaku telah menyelimuti tubuhku dengan kehangatan, supaya aku tidak mengalami kebekuan yang kauciptakan. Keajaiban telah memperlengkapi tubuhku, sebagai senjata untuk mengalahkan engkau.”

Setelah itu terjadilah pertarungan di antara Niz melawan Musim Dingin. Setiap Musim Dingin megayunkan Pedang Esnya, Niz membalasnya dengan menciptakan Api dari telapak tangannya yang mampu mencairkan setiap serangannya. Kehangatan tubuh Niz juga telah membuat gua itu mencairkan setiap lapisan esnya sehingga membuat Musim Dingin melemah. Dan akhirnya, Niz menyemburkan Apinya ke arah lawannya sehingga melukai dada Musim Dingin.

Maka larilah Musim Dingin kepada Sang Dewa Gelap Malam, penguasa Gunung Bayang-bayang untuk memberitahukan kehadiran Niz. Berkatalah Musim Dingin kepada Sang Dewa, “Sesungguhnya seorang makhluk fana telah datang ke tempatmu, seorang putra Matahari yang dikaruniai Keajaiban di tangannya. Ia mampu menciptakan api yang telah membakar dadaku, dan hendak membawa Musim Semi kembali ke permukaan Bumi. Tolonglah aku, wahai Penguasa Kegelapan, berikanlah sebagian kekuatanmu itu kepadaku! supaya dengan mudah aku mencegah mereka keluar, dan membinasakannya seperti Senja membinasakan bapanya.”

Tetapi jawab Sang Dewa, “Aku buta tetapi aku bisa mendengar, aku telah mengetahui kehadirannya sebelum kau memberitahuku. Aku sengaja membiarkannya masuk, Tetapi aku tidak akan membiarkannya keluar dari dalam Gunung ini.”

Maka setelah Niz menyadarkan Musim Semi dan menghangatkannya dengan Api ciptaannya dan kehangatan yang tersisa di tubuhnya, ia menggendong Musim Semi dan membawanya keluar melalui pintu yang sama ketika ia masuk. Tetapi mereka menemukan pintu itu telah tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi kecuali dari lubang kawah yang selalu menyemburkan asap Kegelapan Malam.

Terdengarlah oleh Niz suara yang menggelegar, gemanya memantul di setiap dinding dan menggetarkannya, suara Sang Penguasa Kegelapan, Sang Dewa Gelap Malam. “Aku telah membiarkan engkau masuk ke dalam istanaku, tetapi aku tidak akan membiarkan engkau keluar hidup-hidup. Maka membusuklah tubuhmu di mana engkau berdiri, sebab Wabah Kematian akan segera mengoyaknya.”

Kemudian Sang Dewa Gelap Malam mengambil debu pasir dari dasar Gunung itu dan meniupkannya ke depan. Dan tiba-tiba terciptalah Wabah Kematian dari tiupan debu pasir itu terbang ke arah Niz berdiri dan menyerangnya secara membabi buta. Tetapi Niz melawan mereka dengan menciptakan pusaran Angin yang mampu menjauhkan mereka dari tubuhnya. Dan di dalam pusaran Angin itu, Niz berhasil membawa Musim Semi keluar dari Gunung Bayang-bayang.

Maka dihadirkannyalah kembali oleh Niz Musim Semi ke Dunia tepat sebelum Pagi melahirkan Matahari. Dan tersenyumlah Matahari melihat kepahlawanan putranya itu. Maka jatuh cintalah Niz kepada Musim Semi, katanya, “Wahai Putri Sang Waktu, kecantikanmu telah memesonakan hatiku. Telah kudengar merdu nyanyianmu, yang menjadi panduku dan suluhku di dalam kegelapan. Maka biarlah aku hanya memberikan cintaku kepada engkau, seperti Langit memberikan cintanya kepada Bumi. Meskipun Dunia tidak menerima kita, sebab aku fana dan kau abadi.”

Kemudian dengan bantuan bapanya, Niz memperjuangkan cintanya kepada Musim Semi di hadapan Loze, sebab Sang Dewa Terang Siang tidak membiarkan persatuan makhluk fana dengan makhluk abadi. Kata Matahari, “Wahai Sang Terang yang memberikan cahayanya kepadaku, yang telah mengantarku berjalan menuju gerbang kematianku! Telah kutanggung semua hukuman atas perbuatanku. Perbuatan yang telah kulakukan dahulu kala. Dan atas kehendak Sang Waktu, aku telah bertemu dengan putraku. Buah cintaku dengan makhluk fana terindah, yang sangat kucintai seumur hidupku. Kemudian atas kehendak Sang Waktu pula, putraku telah menyelamatkan Musim Semi. Dan cinta telah mempersatukan mereka, seperti cinta mempersatukanku dengan kekasihku. Maka kumohon janganlah kau pisahkan mereka, seperti kau memisahkan aku dari kekasihku Biarlah kutanggung hukuman atas perbuatannya, dan biarkanlah ia bersatu dengan kekasihnya.”

Jawab Loze, “Maafkan aku, wahai putraku, maafkan aku telah memberikan hukuman ini kepada engkau. Kau telah menanggung banyak beban dalam kehidupanmu, yang membuat sinarmu semakin meredup. Maka aku tidak akan menambah beban kehidupanmu, dan aku tidak akan memberikan hukuman yang sama kepadanya. Sebab ketulusanmu telah menaklukkan hatiku, dan kebaikan hatimu telah memancarkan kembali sinarmu. Sebab hanya sekali ini saja aku membiarkan hal ini terjadi, Sebuah persatuan antara dua makhluk yang berbeda, Keturunan mereka akan kuberkati sebagai putra-putra Matahari, dan aku juga akan berkenan kepada mereka.”

Bab VI : Putra-putra Niz

Maka terjadilah perkawinan dua jenis makhluk yang berbeda. Niz dan Musim Semi bersatu dengan berkat Sang Dewa Terang Siang. Pada setiap kehadirannya, Musim Semi melahirkan seorang putra bagi Niz sehingga genap dua belas putra-putra bagi Niz, yaitu bapa-bapa ras Peri dilahirkan sebelum Niz mengakhiri kehidupannya. Dan kepada putra-putranya, Niz mewariskan Keajaiban yang dimilikinya.

Pada tahun pertama, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Mezum sebab katanya kepada Musim Semi,“Inilah buah manis yang dihasilkan dari benih-benihku, yang manisnya akan dikecap oleh ujung lidahku. Biarlah ia akan tetap manis semanis buah Mezum, dan namamu akan juga semanis buahnya.”

Kemudian Niz memelihara tumbuhan berbunga dan pohon-pohon berbuah yang ditumbuhkan oleh Bumi setiap datang Musim Semi. Ia menciptakan kupu-kupu dengan sayap yang indah dan lebah melalui Keajaiban untuk menyerbukkan bunga dan menghasilkan madu sebagai minuman. Ketika Musim Gugur tiba, ia memanen hasilnya dan mempersembahkannya ke Gunung Timur di hadapan Sang Terang. Tetapi Sang Terang tidak berkata apapun.

Pada tahun kedua, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Lew sebab katanya, “Inilah bunga terindah yang dihasilkan dari benih-benihku, yang keindahannya telah menyegarkan pandangan mataku. Biarlah ia akan tetap indah walaupun Musim Semi berakhir, yang akan menghiasi Bumi untuk selama-lamanya.” Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi. Dipersembahkannya hasil panennya di Gunung Timur di hadapan Sang Terang. Tetapi Sang Terang tidak berkata apapun.

Pada tahun ketiga, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Melutey sebab katanya, “Musim Semi telah dilahirkan hanya untukku memberikan kebahagiaan di masa-masa sepiku. Biarlah Musim ini terasa lebih panjang bagiku, Supaya cintaku abadi sepanjang perjalanan SangWaktu.” Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi. Dipersembahkannya lagi hasil panennya di Gunung Timur. Tetapi Sang Terang tidak berkata apapun.

Pada tahun keempat, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Soned sebab katanya kepada Musim Semi, “Sudah lengkaplah kebahagiaanku, Memiliki istri secantik dirimu! Biarlah rahimmu diberkati selalu oleh Sang Terang, Dan melahirkan anak-anak yang berbakti kepadanya.” Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi. Dipersembahkannya lagi hasil panennya di Gunung Timur Tetapi Sang Terang tidak berkata apapun.

Pada tahun kelima, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Neyel Pe sebab katanya, “Sebab aku adalah bapa sebuah bangsa, yang diberkati oleh tangan Sang Terang. Biarlah dengan tongkatku aku akan memimpin mereka, dan membawa mereka ke jalan yang terang.”

Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi Dipersembahkannya lagi hasil panennya di Gunung Timur. Dan akhirnya berkatalah Sang Terang kepada Niz, “Wahai hambaku yang setia! Aku akan memberkatimu sebagai suatu bangsa. Sebuah bangsa yang akan menjadi penyambung lidahku, yang akan berkata-kata demi namaku. Sebab lima kali kau telah datang di Gunungku, lima kali kau menunjukkan baktimu kepadaku. Maka aku akan berkenan kepadamu, dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang bangkitlah, wahai putra Matahari! Dirikanlah bagiku sebuah bangunan dari batu, supaya aku dapat bersemayam di dalamnya, sebagai Rumah untuk tubuhku. Buatlah sebuah Menara Api di tengahnya, tempat kau mempersembahkan hasil bumimu kepadaku. Dan bakarlah semua persembahanmu di dalamnya, supaya aku dapat mencium aromanya. Jagalah supaya Apinya tidak lekas padam, sebab itu menjadi tanda perjanjianku kepadamu. Bawalah anak-anakmu ikut serta berbakti kepadaku, dan jauhkanlah mereka dari lubang Kegelapan.”

Dan dilakukannyalah oleh Niz perintah Sang Terang itu. Dan dengan Keajaiban yang dimilikinya, Niz memeritahkan batu-batu karang putih pada Gunung Timur bergerak membentuk sebuah bangunan megah, yaitu Rumah Agung pada lerengnya yang menghadap ke Barat. Kemudian Sang Terang menyalakan Api Sucinya pada menara yang telah didirikan. Sang Terang sangat berterima kasih kepada Niz dan memberikan ribuan berkat kepada keturunannya yang lahir dari rahim Musim Semi.

Pada tahun keenam, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Ror sebab katanya, “Aku telah mencari dan aku telah mendapatkannya, sesuatu yang hilang dari kehidupanku. Biarlah ia tidak akan lepas dari tanganku, dan Takdir tidak akan pernah menyentuhnya lagi.”

Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi. Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung di hadapan Sang Terang. Dan berkatalah Loze kepada Niz, “Sekali-kali kau tidak akan pernah kehilangan sesuatu, jika kau selalu memandang cahayaku, melakukan apa yang menjadi perintahku, dan tetap setia mengabdi kepadaku. Maka ajarkanlah kepada seluruh anak-anakmu, kebijaksanaan yang berasal dari Sang Terang, Jangan biarkan kaki mereka terantuk batu, dan kabut menghalangi pandangan mata mereka. Pimpinlah mereka ke jalan Sang Terang demi namaku, dan jauhkanlah mereka dari lubang kegelapan. Berikanah mereka tongkat pemandu untuk berjalan, yang akan menuntun di mana ia berada. Ajarlah mereka untuk memandang jauh ke depan, dan janganlah sekali-kali menoleh ke belakang. Jagalah supaya api mereka tetap menyala, supaya jiwa mereka bersinar seterang Matahari.” Kemudian Niz melakukan perintah Sang Terang dan mengajarkan kebijaksanaan Sang Terang kepada anak-anaknya. Maka semakin berkenanlah Loze kepada putra-putra Niz.

Pada tahun ketujuh, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Ulzud sebab katanya kepada Musim Semi, “Ini adalah pemulaan kehidupanku, bukanlah akhir atau pertengahannya. Biarlah Waktu akan menggantikan Masa-masaku yang hilang, ketika kau tertidur di pangkuannya.”

Dan berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung di hadapan Sang Terang. Dan berkatalah Loze kepada Niz, “ Janganlah sekali-kali kau meninggalkan anak-anakmu, sebab mereka telah ditakdirkan menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang menjadi kekasih Sang Terang, yang berkata-kata melalui lidah mereka. Biarkanlah mereka mengajarkan ajaran-ajaranku, yang telah kauajarkan kepada mereka. Kepada burung-burung di udara, dan kepada semak pohon di belantara. Sebab kau tidak akan pernah kehilangan lagi, tetapi kau mendapatkan Masa-masamu yang hilang. Bersama Matahari yang tersenyum memandangmu, yang menanggung hukumannya dengan kerelaan.” Maka semakin berkenanlah Loze kepada putra-putra Niz.

Pada tahun kedelapan, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Menzeg sebab katanya kepada Musim Semi, “Sebab delapan Bulan tidak bisa mengalahkan mereka, delapan Matahari kecil yang kaulahirkan untukku. Cahaya mereka akan selalu membuatnya cemburu, dan bapaku akan selalu tertawa melihatnya.”

Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung di hadapan Sang Terang. Dan berkatalah Loze kepada Niz, “Tetapi berhati-hatilah terhadap kesesatan anak-anakmu, dan jangan biarkan Bulan berbicara dengan mereka. Sembunyikanlah mereka dari bayang-bayang Kegelapan, supaya mereka tidak berpaling dari hadapanku. Ketahuilah bahwa jiwa mereka sangatlah berharga, lebih berharga dari segala yang berada di Dunia ini. Ajarlah mereka memelihara cahaya jiwa mereka, supaya jangan sampai meredup atau padam. Sebab aku akan mencabut berkat-berkatku dari mereka jika Kegelapan mulai menyelimuti dan menguasai mereka, Dan aku tidak akan menempatkan jiwanya di Langit, jika cahayanya telah redup atau padam.” Kemudian Niz melakukan perintah Sang Terang. Dan semakin berkenanlah Loze kepada putra-putra Niz.

Pada tahun kesembilan, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Urzug sebab katanya, “Begitu damainya hatiku melihat anak-anakku, sembilan Matahari kecil yang terlahir untukku. Biarlah mereka menjadi bangsa yang hebat, dan selalu diberkati oleh Sang Terang.”

Dan berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi. Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung di hadapan Sang Terang. Berkatalah Loze kepada Niz, “Sesungguhnya apa yang kauharapkan akan terjadi, dan apa yang mereka inginkan akan terwujud. Matahari akan bahagia melihat putra-putranya, menjadi bangsa yang kuberkati. Maka peliharalah tingkah laku mereka, janganlah menyimpang dari jalan Sang Terang. Jagalah setiap kata yang mereka ucapkan, supaya hanyalah kebenaran yang mereka katakan.”

Pada tahun kesepuluh, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Dipid sebab katanya, “Seperti burung Dipid kecil yang dikarunai suara yang merdu, menghibur Matahari dengan nyanyian di sepanjang perjalanannya. Demikan juga diriku yang mendapatkan Keajaiban, akan membahagiakan bapaku dengan anak-anakku.”

Dan berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung di hadapan Sang Terang. Berkatalah Loze kepada Niz, “Sesungguhnya Matahari bangga memiliki putra-putramu, sebuah bangsa yang dikarunai Keajaiban. Dengan lidah yang selalu berkata benar, Dan telinga yang selalu mendengar perkataanku. Maka kuterima seluruh persembahanmu, dan persembahan anak-anakmu menjadi indah di mataku. Kau tidak akan meninggalkan keturunanmu untuk selama-lamanya, Jika mereka setia dan berbakti kepadaku.”

Pada tahun kesebelas, lahirlah seorang putra lagi bagi Niz dan diberi nama Depiz sebab katanya, “Sudah waktunya bagiku untuk berstirahat, sebab tubuhku sudah terasa letih. Telah kulihat anak-anakku tumbuh dengan pengasuhanku, dan itu sangat membahagiakan hatiku.”

Maka berlalulah Musim Semi dan datanglah Musim Panas dan Musim Gugur, musim memanen hasil Bumi Bersama putra-putranya dipersembahkannya hasil panennya di Rumah Agung. Untuk kesekian kalinya di hadapan Sang Terang. Berkatalah Loze kepada Niz, “Ketahuilah bahwa aku telah menyediakan tempat bagimu. Sebuah tempat beristirahat yang indah sepanjang Masa. Tubuhmu akan dibaringkan di rahim Sang Pagi, Dan jiwamu akan kupersatukan dengan jiwa Matahari.”

Pada tahun kedua belas, lahirlah seorang putra bagi Niz dan diberi nama Lete sebab katanya, “Biarlah Sang Waktu memutar kembali kehidupanku, dan memberikanku tubuh yang baru. Supaya aku bisa selalu menikmati keindahan Musim Semiku, dan selalu berdiri menantikan kelahiran Matahari setiap Pagi.”

Setelah itu Musim Semi melahirkan pula dua belas putri bagi Niz sehingga genaplah dua belas pasang putra-putri yang dilahirkan oleh Musim Semi. Kemudian matilah Niz. Dan Musim Semi mendendangkan nyanyian sedih untuk meratapi kepergiannya sehingga tunas-tunas tumbuh dengan lambat dan kuncup-kuncup bunga enggan bemekaran. Loze membawa tubuh Niz dan olehnya, Niz dikuburkan di Puncak Gunung Terang dekat dengan tempat kelahiran Matahari dan di sebelah tempat Yehi dikuburkan.

Maka berkabunglah Matahari atas kematian putranya dalam kesedihan yang berwarna merah, semerah darah sehingga tidak terpancar lagi sinarnya sesaat setelah dilahirkan oleh Pagi. Loze segera mengambil jiwa Niz yang bercahaya terang dan mempersatukannya dengan jiwa Matahari sesuai dengan janjinya. Dan berakhirlah kehidupan Niz putra Matahari sebagai pemimpin bangsa. Tongkat pandunya diambil oleh Mezum putra sulungnya. Dan oleh Mezum pula, diantarkannyalah Musim Semi beristirahat ketika tiba saatnya Musim berganti.

Bab VII : Menzeg

Adapun Bumi memelihara ketiga putra Nete yang ditinggalkan di atas gunung. Maka bertambah besarlah mereka dan ketika Musim Dingin berakhir pergilah mereka dari situ ke Timur, tempat di mana terdapat cahaya abadi dipancarkan oleh Sang Pagi. Maka teringatlah oleh Loze akan mereka sehingga diutusnyalah putra-putra Niz untuk mempersiapkan kedatangan mereka.

Berkatalah Sang Terang kepada putra-putra Niz, “Wahai, putra-putra Matahari, bangunlah sebuah jembatan untukku! Yang menghubungkan Daratan Bumi dengan Timur, supaya putra-putra Nete bisa datang kepadaku. Sebab mereka adalah saudara-saudaramu, yang lahir dari rahim seorang wanita, Yehi. Mereka telah ditinggalkan oleh bapa mereka, yang seumur hidupnya telah mengabdi kepadaku. Biarkanah mereka datang kepadaku, kepadaku, yang memiliki jiwa mereka dan berkumpul dengan kamu, saudara-saudara mereka, supaya Kegelapan tidak menguasai mereka.”

Dan dibangunnyalah oleh putra-putra Niz sebuah Jembatan yang diberi nama Gerbang Dewa. Dan untuk menyambut kedatangan saudara-saudara mereka, mereka mulai memanen buah-buahan dan memeras madu dan anggur untuk minuman, menenun pakaian dan berlatih tari-tarian.

Maka sampailah ketiga Manusia itu di Timur dan disambut oleh putra-putra Niz dengan musik dan tarian dan makanan buah-buahan dan minuman madu dan anggur yang disajikan oleh putri-putri Niz. Tetapi para Manusia itu birahi kepada putri-putri Niz yang cantik-cantik itu sehingga Mezum memutuskan untuk menyembunyikan saudari-saudarinya di Rumah Agung setelah pesta penyambutan selesai.

Pada suatu Malam, setelah Matahari mati di tangan Senja ketika putra-putra Niz berstirahat, bangunlah ketiga Manusia itu dari tempat tidurnya dan pergi diam-diam ke Rumah Agung, menemukan putri-putri Niz sedang tertidur. Mereka terpesona melihat rambut dan tubuh mereka yang berwarna putih seperti awan di Langit dan Salju di Musim Dingin. Wajah mereka yang sangat cantik melebihi bunga-bunga yang tumbuh di Musim Semi sehingga membuat putra-putra Nete jatuh cinta dan berniat menculik beberapa dari mereka yang sedang tertidur dan membawa mereka kembali ke Daratan Bumi. Maka mereka memutuskan untuk mengambil diam-diam masing-masing seorang.

Tetapi berteriaklah putri-putri Niz dan membangunkan saudara-saudara mereka di tengah Malam sehingga Manusia-manusia itu hanya berhasil membawa seorang saja dan berlarilah mereka melintasi Gerbang Dewa menuju Daratan Bumi sebelum terkejar oleh putra-putra Niz.

Ketika masing-masing putra-putra Niz memeriksa keadaan saudari-saudari mereka, marahlah Menzeg, putra Niz atas hilangnya salah seorang putri Niz, yang telah menjadi kekasihnya itu. Pergilah ia menghadap Sang Terang dan di depan saudara-saudaranya ia berseru, “Wahai Sang Terang, pujaan kaum keluargaku! Sudah lama aku menghabiskan waktu menyembahmu. Telah kuberikan seluruh hidupku untuk mengabdi kepadamu dan telah kupersembahkan seluruh milikku kepadamu. Tetapi mengapa kau membiarkan hal ini terjadi? Mengapa kau membiarkan membiarkan mereka mengambil kekasihku? Di manakah kau berada ketika ia berteriak membutuhkan pertolongan? Sudah butakah matamu sehingga kau tidak melihatnya? Sesungguhnya kau memanggil mereka untuk melenyapkan kami untuk memerangi kami dan membinasakan kaum kami. Yang pertama adalah kekasihku, siapakah yang kemudian? Satu per satu hingga tak bersisa putra-putra Niz. Kau lebih mengasihi putra-putra Nete daripada kami, sebab kami adalah buah keturunan terlarang dari ibu bapa kami. Ketahuilah bahwa aku dan kaumku tidak akan melayanimu lagi mulai sekarang sampai selama-lamanya.”

Dan tampillah Neyel Pe menyanggah semua perkataannya, “Tutup mulutmu, wahai saudaraku yang bodoh! Sesungguhnya kebodohanmu telah meredupkan cahaya Jiwamu. Tak sepantasnya kau berbicara seperti itu di hadapannya di hadapan Sang Pencipta Dunia dan Pemberi Jiwamu. Haruskah kau menyalahkannya karena kematian saudari kita? Haruskah kau mengkhianatnya seolah dia telah meninggalkanmu? Tidak tahukah kau bahwa tanpa dia kau tidaklah berarti? Tanpa Sang Terang yang menjadi pandu kehidupanmu. Niz, bapa kita, telah bersumpah di depan Matahari untuk berbakti bersama keturunannya kepada Sang Terang. Haruskah kau melanggar sumpah yang diucapkannya itu? Haruskah kau berpaling dari Sang Terang untuk selama-lamanya? Ketahuilah bahwa jika aku adalah kau, aku akan berpikir dua kali untuk berkata-kata. Aku akan selalu berjalan di bawah cahaya Sang Terang, dan aku tidak akan mengikuti jejak kakimu.”

Mendengar kata-kata Neyel Pe, semakin marahlah Menzeg dan mengumumkan perang melawan Neyel Pe. Tetapi Mezum dan putra-putra Niz yang lain memihak Neyel Pe dan mengalahkan Menzeg. Setelah mengambil karunia Keajaiban dari padanya, mereka menghalau Menzeg dari Timur. Berkatalah Menzeg untuk terekhir kalinya, “Baiklah, aku akan pergi dan tidak akan kembali, sebab kamu bukanlah saudara-saudaraku lagi. Aku akan berkelana ke Daratan Bumi memburu para Manusia, dan tidak akan lagi menyembah apa yang kamu sembah.”

Setelah Menzeg pergi, berkatalah Sang Terang kepada Neyel Pe, “Wahai hambaku yang setia, diberkatilah kau di antara semua makhluk! Sebab kau selalu menjaga jiwamu tetap bercahaya, dan berhati-hati melangkah supaya tidak terantuk batu. Kau telah mempertahankan kepercayaanmu kepadaku, dengan bijaksana kau menimbang setiap kata yang akan kau ucapkan. Maka kuberkati keturunanmu untuk selama-lamanya dan kau akan memberkati seluruh makhluk di Daratan Bumi. Maka berbicaralah kau atas namaku, dan hakimilah semua saudaramu di hadapanku. Sebab mereka telah salah mengambil langkah, membiarkan saudara mereka tersesat di padang belantara Utuslah beberapa dari mereka menyusul ke Daratan Bumi dan mencarinya sebelum Kegelapan menemukannya. Sebab telah kututup matanya dari pandangan akan Manusia sebelum kebodohannya menuai kebinasaan.”

Kemudian Neyel Pe melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang Terang, dan dipilihnyalah Melutey dan Lete bersama istri-istri mereka, melakukan perjalanan ke Daratan Bumi untuk mencari Menzeg. Mereka dilarang berhubungan dengan para Manusia dan tidak diperkenankan menggunakan Keajaiban yang dapat merubah sejarah Dunia.

Adapun di Daratan Bumi, Manusia-manusia saling berkelahi memperebutkan putri Niz dan terlihatlah perbuatan mereka oleh Sang Dewa Terang Siang. Untuk menghentikan perkelahian mereka itu, kemudian Loze memohon kepada Sang Waktu untuk membinasakan sumber pertengkaran itu supaya pertumpahan darah dan kematian tidak terjadi atas diri mereka. Katanya, “Wahai Sang Waktu, yang menguasai kehidupan dan kematian, yang berkuasa atas Dunia dan segala yang berada di dalamnya! Tidakkah kau melihat putra-putra Nete berperang memperebutkan sesuatu, sesuatu yang tidak perlu mereka perebutkan dengan sia-sia? Maka sebelum sesuatu terjadi atas mereka dan atas Dunia apabila mereka bersatu dengannya. Biarlah kau mengambil jiwa putri Matahari itu dan mengakhiri hidupnya untuk selama-lamanya.”

Kemudian matilah putri Niz itu sehingga menyesallah bapa-bapa Manusia itu dan memohon ampunan Sang Dewa Terang Siang. Kemudian oleh Yeru, diciptakannyalah dari tanah Bumi tiga sosok Manusia yang serupa dengan kekasih mereka itu dan diberikannya kepada mereka masing-masing seorang supaya mereka beroleh keturunan.

Tetapi Sang Dewa Gelap Malam telah terlebih dahulu menemukan Menzeg. Suatu Malam, ketika Bulan kelabu, putri Penguasa Malam berdiri di atas puncak Gunung Barat, yaitu Gunung Bayang-bayang, menggantikan ibunya menguasai Dunia atas nama bapanya, kelihatanlah olehnya wajah sesosok makhluk yang tidak takut akan Bayang-bayang Kegelapan Malam.

Makhluk itu tetap berjalan meskipun kelelahan menyelimutinya. Maka disapalah olehnya makhluk itu, “Wahai Makhluk Dunia yang sedang berjalan sendiri! Apa yang sedang kau lakukan pada Malam ini? Mengapa kau tidak berlindung seperti yang lain? Tidakkah kau takut Kegelapan yang bisa membunuhmu? Tahukah kau bahwa bapaku adalah Penguasa Malam, yang memiliki lengan yang dapat merobek jantungmu? Pencipta Dunia dan yang akan membinasakannya. Dan membungkusnya ke dalam Kegelapan abadi?”

Jawabnya, “Sesungguhnya aku adalah seorang pelarian yang tidak mendapatkan tempat di antara saudara-saudaraku. Dewa pujaanku telah mengkhianatiku dan meninggalkanku dan membiarkan para Manusia itu mencuri kekasihku. Aku sedang dalam perjalanan memburu mereka, para Manusia, yang telah membawa kekasihku. Aku akan membinasakan mereka semua dengan tanganku hingga tidak ada lagi Makhluk Manusia di atas Bumi. Aku tidak peduli apakah Malam akan mengakhiri hidupku, sebab mulai dari sekarang aku adalah pelayan Kegelapan. Sebab Sang Terang telah meninggalkanku untuk selama-lamanya, dan aku tidak akan pernah lagi mengabdi kepadanya.”

Sang Bulan menanggapi perkataannya, “Ketahuilah, wahai makhluk yang malang! Bapaku tidak pernah meninggalkan makhluknya, Ikutlah aku dan akan kubawa kau kepadanya maka semua keinginanmu akan terwujud! Kami memiliki barisan tentara yang kuat, yang akan mengalahkan dia yang telah meninggalkanmu. Sebab hanya dengan sekali tiupan nafasnya, maka binasalah kaum Dunia bersama isinya.”

Dan dibawanyalah oleh Bulan, Menzeg ke hadapan Sang Dewa Gelap Malam. Menzeg memberikan seluruh hidupnya untuk Sang Dewa sampai mati sehingga sebagai imbalan atas kesetiaannya, Sang Dewa Gelap Malam memberikan Bulan sebagai istrinya. Kemudian Bulan melahirkan Setan-setan untuk Menzeg dan mempersembahkan mereka untuk Sang Dewa Gelap Malam sebagai bala tentara perang. Dan Menzeg dinobatkan sebagai Raja Setan.

Bab VIII : Pengutusan Neyel Pe

Pada suatu Masa, terbanglah Naga-naga dari Barat ciptaan Dewa Gelap Malam yang ditunggangi oleh Setan-setan, putra-putra Menzeg, untuk menyerang kekutan Terang di Timur. Berkatalah Loze kepada Neyel Pe, “Katakanlah kepada kaummu: ‘Sudah ditakdirkan oleh Sang Waktu, bahwa sebuah perang akan segera dimulai. Sebuah perang yang akan menentukan masa depan Dunia. Bersiaplah wahai Putra-putra Matahari, ambillah tongkatmu dan berjuanglah sebab Kegelapan telah bangkit di Barat, dan sekarang bersiap untuk menyerang Timur. Berikanlah seluruh hidupmu kepada Sang Terang, dan berperanglah demi namanya. Persembahkanlah perjuangan terbaikmu kepadanya, maka cahaya Jiwamu akan lebih terang daripada Matahari.

Di bawah pimpinan Umug Lez kamu akan mengangkat senjata, di bawah panji-panji Matahari yang selalu melindungi kamu. Nyalakanlah api pada tongkatmu, dan jagalah supaya cahayanya tidak lekas padam. Janganlah kamu mencoba berpaling daripadaku, terperosok ke dalam lubang Kegelapan seperti Menzeg. Tetapi berdirilah selalu memandang Sang Terang, pemberi Jiwa yang memberikanmu kehidupan.’

Tetapi aku, Sang Terang, memanggilmu dari antara mereka, dan memilihmu dari antara semua makhluk untuk melayaniku. Sebab telah kulihat betapa besar kesetiaanmu kepadaku. Dan sekarang aku telah berkenan kepadamu. Pergilah dari kaummu dan tinggalkanlah anak dan istrimu, datanglah kepadaku dan layanilah aku di Gunungku. Sebab aku akan memberikan Kebijaksanaan Suci kepadamu, sebagai imbalan atas pengabdianmu kepadaku.”

Maka sahut Neyel Pe, “Sesungguhnya seluruh hidupku hanyalah untuk melayanimu, ketika aku tertidur dan terjaga, aku tidak pernah berpaling daripadamu. Tetapi mungkinkah aku meninggakan mereka di masa-masa sulit? Membiarkan kaumku berjuang dalam Perang Besar ini. Mereka pasti akan merasakan kepedihan dan ketakutan, sebab kematian membayang-bayangi mereka di medan peperangan. Mereka mungkin akan berkata: ‘Ah, betapa bahagianya Neyel Pe sekarang, Berada bersama Sang Terang tanpa harus mengalami hal ini.’”

Jawab Sang Terang, “Ketahuilah bahwa aku habis berperang melawan Kegelapan, untuk merebut saudaramu yang tersesat itu darinya. Tetapi aku kalah dan ia juga mengambil sebagian Kekuatanku, sehingga aku memerlukan cahaya Jiwamu untuk memulihkanku. Beradalah di dekatku dan sembuhkanlah aku, sebab hanya cahaya Jiwamulah yang bisa melakukannya.”

Kata Neyel Pe, “Jika demikian kehendakmu, aku akan pergi, memberikan cahaya Jiwaku sebagai wujud pengabdianku. Aku akan melayanimu karena aku milikmu. Dan aku akan menghabiskan sisa umurku di Gunungmu.”

Kemudian Neyel Pe berkata memanggil seluruh kaumnya dan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Terang kepadanya. Dan ia memanggil juga istrinya, beserta Uru Elzu dan Uru Enzu, putra-putra kembar yang terlahir untuknya untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya. Katanya, “Sang Terang memanggilku untuk menjadi pelayannya, sehingga aku tidak bisa berperang bersama kamu Dan aku akan meninggalkan kamu dan pergi ke Gunungnya untuk berbakti kepadanya di sepanjang sisa hidupku. Tetapi aku tidak akan melupakan kamu, saudara-saudaraku, dan aku akan selalu memohon kekuatan kepadanya, Sebab Kekuatan Terang yang bercahaya di dalam jiwamu yang akan memenangkan kamu dalam perang nanti.

Janganlah menangis, wahai istri dan anak-anakku, sebab Sang Terang akan selalu melindungiku dari bahaya. Tangisilah Dunia ini yang berada di ambang kehancuran, dan berjuanglah untuk mencegah hal itu terjadi. Selamatkanlah Dunia ini, kataku, selamatkanlah semua yang berada di dalamnya! Janganlah biarkan semua yang telah diciptakan binasa, dan jangan biarkan Kegelapan menguasainya.”

Setelah berkata-kata, datanglah Awan putih menjemputnya dan Angin menerbangkannya ke puncak Gunung Timur, di mana Sang Terang telah menunggunya. Putra-putra Niz melepasnya dengan rasa sedih sebab mereka kehilangan seorang saudara lagi.

Bab IX : Perang Besar

Kemudian datangah Keberanian kepada Umug Lez putra Mezum sehingga ia memimpin Bangsanya dan mendirikan Kerajaan Tegge. Ia mempersiapkan segalanya untuk menghadapi Perang Besar yang akan terjadi. Ia menciptakan senjata pelontar dari ranting-ranting pohon Rened yang sanggup melontarkan bilah-bilah runcing ke udara, yaitu busur dan anak panah.

Maka katanya di hadapan Bangsanya, “Sang Terang telah memilihku untuk memimpin kamu, seperti yang dikatakannya melalui mulut Neyel Pe. Dan aku akan selalu bersama dengan kamu, dalam menghadapi masa-masa yang sulit sekalipun. Sebagai Raja, aku akan memimpin kamu, dan membawa kamu menuju kemenangan. Sebagai Raja, aku akan melindungi kamu, dan menjauhkan kamu dari bayang-bayang kegelapan. Maka marilah kita bersama-sama berjuang, bersama Matahari, sumber kekuatan kita. Sebab kita telah dipilih oleh Sang Terang sebagai sekutunya, untuk menghadapi Kekuatan Kegelapan dari Barat Kemenangan ada di pihak kita, dan Harapan tidak pernah jauh dari kita. Sebab Sang Terang tidak pernah meninggalkan kita, dan ikut berperang bersama dengan kita. Dan selama Api Suci masih menyala, Sang Terang memberikan kekuatan kepada kita. Sebab nyala Api Timur adalah Cahaya Sang Dewa, yang harus kita jaga supaya tidak padam.”

Kemudian bergeraklah barisan para ksatria Terang menuju Daratan Bumi melalui Jembatan Gerbang Dewa. Maka berhentilah mereka di Pegunungan Putih dan memulai peperangan ketika mereka tahu bahwa Naga-naga raksasa berusaha menyerang mereka dari udara. Naga-naga raksasa yang terbang ditunggangi oleh Setan-setan, putra-putra Menzeg, sempat membuat mereka gentar. Para ksatria tetap berperang di bawah pimpinan Umug Lez putra Mezum, melontarkan ribuan anak panah kearah mereka dan berusaha tidak menggunakan Karunia Keajaiban untuk melawan mereka.

Tetapi ternyata Naga-naga itu diperlengkapi dengan tubuh yang sekeras batu karang yang tidak dapat ditembus oleh senjata apapun sehingga sia-sialah anak panah yang dilontarkan oleh para ksatria ke udara. Naga-naga itu membalas serangan mereka, menyemburkan nafas Wabah Kematian yang membuat siapapun yang menghirupnya akan mati sehingga banyak ksatria yang berguguran karenanya.

Dan Setan-setan, para penunggang Naga, dengan tombak-tombak panjang di tangan mereka, menusuk para ksatria ketika Naga-naga yang ditunganginya mendekati tanah, menyambar beberapa dari para ksatria dan melemparkannya ke tanah sehingga dalam waktu sehari telah gugur seratus orang ksatria.

Maka berserulah Umug Lez dengan suara nyaring, “Kami berjuang demi Sang Terang, dari Kegelapan abadi kami mempertahankannya. Terhadap Naga-naga dari Barat, kami tidak takut, meskipun kami harus kehilangan dari kami. Nafas mereka adalah wabah kematian, sehingga beberapa saudara kami mati karenanya. Tubuh mereka terbuat dari Batu karang, sehingga anak panah kami tidak mampu melumpuhkannya. Mereka besar dan bersayap, terbang menebarkan ketakutan di atas Bumi. Lengkingan suara mereka seperti halintar, tetapi tidak akan membuat kami takut. Dan kami tetap tegar berdiri, dan berjuang sampai kesudahannya. Kemenangan akan selalu berada di tangan kami, dan Harapan akan terus berada bersama kami.

Maka dengan Karunia Keajaiban yang ada pada mereka, para ksatria mencoba bertahan hidup dengan bersama-sama menciptakan kubah pelindung yang akan melindungi mereka dari Wabah Kematian. Kata Umug Lez kepada para ksatra-ksatrianya, “Jangan takut atau menyerah, wahai pahlawan-pahlawanku, tetaplah berjuang dan bijaksanalah dalam melawan mereka! Simpanlah sebagian tenaga kamu untuk Malam ini, sebab kita tidak bisa beristirahat lagi seperti biasanya. Jumlah kita memang tidak sebanding dengan jumlah mereka, dan ukuran kita tidak cukup besar untuk menandingi mereka. Tetapi kita memiliki Sang Terang yang selalu menerangi jiwa kita, yang memberikan Harapan bahwa Kemenangan ada di pihak kita.”

Setelah itu Umug Lez memerintahkan para ksatria untuk berpencar, menyerang Naga-naga dari segala pejuru dan membidik mata dan sayap mereka dengan panah untuk menjatuhkan Setan-setan yang menunggangi mereka. Tetapi hari demi hari keadaan tidak berubah. Perang yang terjadi Siang dan Malam banyak merugikan putra-putra Niz. Kekuatan Setan-setan dari Barat semakin bertambah ketika Malam tiba bersamaan dengan bersemayamnya Bulan di puncak Gunung Bayang-bayang melahirkan Setan-setan baru. Dan kekuatan mereka tidak berkurang ketika kekuasaan Malam berakhir digantikan Pagi yang melahirkan Matahari.

Setan-setan baru pun berdatangan dari Barat mengendarai Angin Malam menyerang putra-putra Niz. Korban-korban pun berjatuhan, yaitu para ksatria yang gagah berani. Banyak dari mereka yang gugur bukan akibat tusukan tombak Setan-setan, tetapi gugur akibat kehabisan tenaga dan menghirup nafas Naga-naga. Mereka terlalu banyak membuang tenaga untuk menciptakan kubah pelindung dan mereka tidak pernah beristirahat untuk memulihkan tenaga mereka. Akibatnya Wabah Kematian membinasakan mereka, termasuk Umug Lez sang pemimpin.

Kemudian tampillah Zod Zumen putra Umug Lez menggantikannya sebaga pemimpin. Ia memerintahkan para ksatria yang tersisa untuk mundur kembali ke Kerajaan Timur. Sebab katanya, “Sudah sekian lama kita berjuang. Sudah sekian lama kita berperang. Ribuan jiwa telah dikorbankan untuk Sang Terang. Tetapi di manakah ia selama ini? Marilah kita kembali ke Timur. Dan berlindung di dalam Rumah Agung. Sebab Kemenangan mungkin tidak ditakdirkan bagi kita. Dan Harapan telah menjauh dari kita.”

Tetapi putra-putra Neyel Pe berkata, “Wahai, Zod Zumen putra Umug Lez, di manakah Keberanian yang kaumiliki? Ayahmu telah mati dengan Keberanian yang ada padanya, memperjuangkan Kemenangan Sang Terang sampai akhir hidupnya. Hanya itulah pengabdian yang dapat ia berikan, sebab tubuh dan darahnya dipersembahkan bagi sang Terang. Ia tidak pernah gentar dan putus asa, dan jiwanya akan menjadi bintang yang terang di Langit. Tetapi kami tidak akan pernah mundur setapakpun, dan akan terus berada di sini meraih Kemenangan. Kami tidak akan kembali ke tempat kami dilahirkan, sebelum mereka dibinasakan dari Dunia ini.”

Maka sahut Zod Zumen, “Wahai putra-putra Neyel Pe, sampai kapankah kamu akan bertahan di sini? Ketahuilah bahwa kita sudah kalah dan Kegelapan sudah menguasai Daratan Bumi. Yang harus kita lakukan adalah kembali, mempertahankan negeri tempat kita dilahirkan. Dan bertahan di sana hingga Sang Terang mengasihani kita, menampakkan Kekuatannya yang besar untuk melawan mereka.”

Putra-putra Neyel Pe menyahut, “Haruskah kita melihat Dunia ini binasa, tanpa berbuat sesuatu untuk mencegahnya? Haruskah kita menunggu belas kasihan Sang Terang, jika kita tidak berjuang bersamanya? Ketahuilah bahwa itu semua adalah sia-sia, dan kami tidak ingin mati seperti itu. Kami akan meneruskan perjuangan ayahmu, Umug Lez, meskipun kami harus mati seperti dia. Selama Matahari masih bersinar, Kegelapan belum menang, dan selama sumber kekuatan kita masih ada, kami akan berjuang. Maka maafkan kami jika kami tidak mengikutimu dan kami akan menentukan nasib Dunia ini sendiri.”

Setelah itu diputuskannyalah bahwa mereka berpisah. Beberapa ksatria yang tersisa mengikuti jejak Zod Zumen kembali ke Timur. Tetapi Zonul saudara Zod Zumen berpaling kepada putra-putra Neyel Pe. Sebab katanya kepada Zod Zumen, “Aku mewarisi Keberanian yang dimiliki ayahku, dan aku memegang teguh janjinya. Memimpin Dunia menuju kemenangan, dan melindungi Dunia dari bayang-bayang Kegelapan. Maka maafkan aku juga tidak pergi bersamamu. Sebab aku akan bertahan di sini seperti ayahku. Aku tidak ingin membiarkan Dunia ini binasa sebelum Sang Waktu mengakhiri Kehidupanku.”

BAB X : Putra-putra Neyel Pe

Kemudian putra-putra Neyel Pe dan Zonul putra Umug Lez mencoba bertahan dari serangan naga-naga. Mereka menyerang dari antara pohon-pohon yang melindunginya dengan menembakan anak panah untuk mengalihkan perhatian Naga-naga yang terus-menerus memburu para ksatria yang bergerak ke Timur di bawah pimpinan Zod Zumen putra Umug Lez.

Tetapi mereka tidak berhasil sebab Naga-naga itu mengejar Zod Zumen. Bahkan beberapa Naga tampak datang dengan bongkahan batu besar di cengkeraman kaki mereka dan melepaskannya di tengah-tengah rombongan para ksatria sehingga banyak ksatria yang terluka parah dan mati tertimpa batu sebelum mencapai Gerbang Dewa.

Ketika putra-putra Neyel Pe hendak kembali untuk menolong para ksatria yang terluka sebelum tersambar oleh Naga-naga, Zonul mencegah mereka, katanya “Biarlah mereka menderita karena pilihan mereka sendiri. Dan biarlah mereka mati dan menyesalinya. Tetapi marilah kita pergi ke Barat dan menyerang sumber Kekuatan Kegelapan. Sebab masa-masa yang tersisa sangatlah berharga sebelum Dunia ini dikuasainya.”

Kemudian mereka mendengar suara ledakan-ledakan di kaki Pegunungan. Dan segera berlarilah mereka ke arah selatan, ke arah suara-suara itu berasal, dan menyadari bahwa ada sebuah peperangan di sana. Sampailah mereka ke tempat peperangan itu, dan menyaksikan dari balik pepohonan hutan beberapa orang menciptakan ledakan-ledakan untuk melawan dua ekor Naga yang menyemburkan Wabah Kematian. Mereka terlihat ketakutan dan bersembunyi di dalam gua-gua ketika Wabah Kematian itu disemburkan. Tetapi ketika Naga-naga itu menghela nafas, mereka menyerang dengan ledakan-ledakan yang membabi buta dan berhasil melumpuhkan salah satunya.

Kemudian putra-putra Neyel Pe dan Zonul segera melepaskan anak panahnya dan membidik sayap Naga yang lain yang terlihat marah melihat kawannya tidak berdaya. Naga itu segera membalikkan tubuhnya ke arah ketiga ksatria itu dan mencoba menyemburkan Wabah Kematian ke tengah-tengah mereka. Naga itu sudah tidak bisa terbang karena sayapnya telah terbakar akibat ledakan yang diciptakan yang telah melumpuhkan kawannya.

Zonul dan putra-putra Neyel Pe menyebar ke tiga arah yang berbeda untuk menghindari Wabah itu. Dan Naga itu mengejar Uru Enzu yang malah mendekatinya. Uru Enzu berlari menuju gua tempat orang-orang asing itu berlindung. Sedangkan Zonul dan Uru Elzu berusaha melindunginya dengan mengalihkan perhatian Naga itu.

Tetapi datanglah lima ekor Naga lain tanpa penunggang Dari Barat dengan sayap utuh terbang melintasi Daratan Bumi menemukan Zonul di padang terbuka. Zonul menembaki mereka dengan panahnya dari bawah. Putra-putra Neyel Pe memperingatkannya supaya pergi menjauh dari tempat itu tetapi terlambat. Zonul mati oleh Wabah Kematian dan tubuhnya dilumat oleh Naga-naga.

Maka menangislah Uru Elzu dan Uru Enzu meratapinya. Kata mereka, “Wahai putra Raja Tegge, ksatria perkasa! Kau telah menentukan pilihanmu untuk berjuang bersama kami. Tetapi sekarang perjuangan hidupmu telah berakhir setelah kau berperang dengan gagah berani dan meninggalkan kami sendiri di sini. Dan sekarang kami tidak bisa berjuang bersamamu lagi Bahkan kami tidak bisa mengubur tubuhmu dan hanya bisa berdiri di sini melihatnya binasa oleh Naga-naga raksasa. Keberanianmu melebihi keberanian yang dimiliki ayahmu dan kau benar-benar mengorbankan hidupmu untuk Sang Terang.”

Maka dengan berani, Uru Elzu mencoba menjauhkan mereka dari tubuh Zonul, melepaskan beberapa anak panahnya kepada mereka. dan marahlah Naga-naga itu dan memburunya sehingga larilah ia menerobos hutan, di mana pepohonan sudah tidak bisa lagi melindunginya sebab setiap kali Naga-naga itu menyemburkan nafas mereka, layu dan keringlah setiap daun dan batang pohon yang dilewatinya.

Melihat Naga-naga itu memburu saudaranya, bangkitlah Uru Enzu mengangkat busur panahnya dan mencoba menembaki Naga-naga itu dengan sisa anak panahnya. Maka mereka yang berada di dalam gua itu membantunya memberikan Api mereka untuk ditembakkan oleh Uru Enzu. Dan dengan panah-panah Api itulah, Uru Enzu berhasil membakar sayap Naga-naga yang terbang dan menghanguskan mereka di dalam Api yang menyala-nyala.

Tetapi Uru Elzu berusaha menghilangkan ketakutannya, dan tetap berlari menghindar dari Wabah Kematian. Maka ketika kekuatannya sudah hampir habis dan ia sudah tidak mampu lagi berlari dan mempertahankan diri, berkatalah ia kepada Sang Terang, “Wahai Sang Terang, selamatkanlah aku! Dimanakah kau berada ketika aku membutuhkanmu? Lindungilah aku dan berikanlah aku kekuatanmu, supaya aku mampu bertahan dan Kematian tidak merenggutku.”

Kemudian terantuklah kakinya oleh sebuah akar pohon, jatuhlah tubuhnya tertelungkup di dalam rawa lumpur. Dan ia mencoba menahan nafasnya, ketika Wabah Kematian disemburkan oleh Naga-naga dari udara, sambil berharap Sang Terang memberikan pertolongan. Tetapi Naga-naga yang memburunya menyangka ia sudah mati, dan mereka tidak dapat menemukan tubuhnya, sehingga berlalulah mereka dari tempat itu menuju ke Timur.

Maka ketika Naga-naga sudah tidak tampak lagi, pergilah Uru Enzu mencari saudaranya ke segala penjuru, di antara pepohonan hutan yang menjadi layu. Dan ditemukannyalah oleh mereka tubuh Uru Elzu yang lemas. Dan dibawalah ke gua perlindungan.

Dan ketika kekuatan Uru Elzu telah pulih, diadakannyalah pertemuan di gua itu. Antara putra-putra Neyel Pe dengan putra-putra Melutey, yaitu mereka yang berjuang melawan Naga-naga dengan kekuatan Keajaiban. Berkatalah Uru Elzu membuka pembicaraan itu, “Demi Sang Terang yang telah menciptakan Dunia ini, dan demi para ksatria yang telah gugur berperang. Demi Umug Lez raja Tegge dan Zonul putranya, kami akan melanjutkan perjuangan ini. Maka kami, putra-putra Neyel Pe, membebaskan kamu dari tugas yang dibebankan oleh bapa kami. Dan kami berharap kamu akan bersekutu dengan kami, kembali ke Timur dan menyelamatkan Tegge dari bahaya. Sebab aku percaya jika kita bersatu, saudara-saudaraku, dan dengan kekuatan yang kita miliki, kita akan mempu mengalahkan Naga-naga raksasa itu. Lihatlah apa yang telah kita lakukan terhadap mereka, dengan busur panahku dan kekuatan Api milikmu, sepuluh Naga telah mati karenanya.”

Gulen putra Melutey menjawab, “Tetapi kami tinggal berenam, tiga dari kami adalah perempuan, dan dua adalah anak-anak, hanya akulah yang laki-laki. Haruskah mereka ikut pergi berperang? Tidakkah hal itu akan membahayakan jiwa mereka?”

Tetapi sahut seorang perempuan, “Aku akan ikut berperang bersama kamu. Aku akan memberikan Apiku untuk anak panahmu, sebab hanya itulah yang mungkin dapat kulakukan. Dan kami tidak ingin mati di bawah bayang-bayang Kegelapan Mereka telah merenggut kehidupan ibu-bapa kami dan beberapa dari kami telah mati karenanya.”

Maka Gulen menghardiknya, “Wahai Lyos, saudariku, tidakkah kaupikirkan bahwa di sana penuh bahaya? Naga-naga bisa membuat kamu mati sia-sia, bersama anak-anak kita yang belum tahu apa yang sedang terjadi. Ini adalah medan peperangan yang kejam, dan bukan sebuah permainan yang menyenangkan. Lupakanlah niatmu itu dan tinggallah di sini. Aku akan pergi bersama putra-putra Neyel Pe dan tunggulah kepulanganku bersama mereka.”

Tetapi perempuan-perempuan di gua itu datang dan memohon kepada Uru Enzu dan Uru Elzu. Kata mereka, “Wahai putra-putra Neyel Pe yang bijaksana, Izinkanlah kami menemanimu di dalam perjalanan sebab kami tidak ingin mati di sini tanpa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Dunia. Kami akan melindungi diri kami sendiri, dan melindungi anak-anak kami dari bahaya. Bersama Lyos, kami akan memberikan Api kami, sebagai senjata untuk melawan Naga-naga jahat itu.

Dan jawab Uru Elzu, “Mereka sudah memutuskan pilihan mereka, haruskah kita menahan mereka? Biarlah mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, dan pergi bersama dengan kita ke Timur.”

Dan bersama-sama putra-putra Neyel Pe berkata, “Baiklah, marilah kita berperang, Menyelamatkan Dunia dari kehancuran. Demi Cahaya Timur dan Matahari yang memandu kita, kita akan berjuang dalam Perjuangan Terakhir ini.

Maka pergilah mereka ke Timur menghadapi bahaya yang telah menunggu di depan Di tengah perjalanan mereka mengumpulkan batang-batang pohon dan memecahnya menjadi ribuan anak panah. Ujungnya dilapisi dengan minyak pohon Dwes, supaya Api yang dinyalakan tidak lekas padam.

BAB XI : Perjuangan Terakhir

Adapun dari tiga puluh ksatria yang kembali ke Timur, hanya tiga belas orang yang selamat mencapai Rumah Agung, dan Zod Zumen putra Umug Lez termasuk dalam bilangan itu. Mereka yang terluka parah disambut oleh perempuan-perempuan, dengan ratap tangis dan kesedihan, tanpa sukacita. Sebab suami-suami dan kekasih-kekasih mereka telah gugur, dan mereka berkabung atas kematian raja mereka Umug Lez.

Tetapi Naga-naga mengejar ksatria-ksatria itu, sekarang juga telah tiba di kaki Gunung Timur. Para pemuda segera mengangkat senjata panahnya dan membuat perisai perlindungan untuk menjauhkan mereka dari Rumah Agung. Kepada ibunya, Zod Zumen menceritakan apa yang terjadi di sana, dan alasan mengapa mereka memilih kembali ke Timur. Maka berkatalah Udror Zed istri Umug Lez kepada Zod Zumen, “Sesungguhnya tiada perkabungan pada diriku, sebab suamiku telah mati demi Sang Terang. Sesungguhnya aku bangga kepadanya, sebab ia telah berjuang sampai kematian datang kepadanya. Tetapi aku malu kepadamu, wahai putraku! Mengapa kau memilih untuk kembali? Di manakah keberanian yang kau miliki, sudah hilangkah itu dari padamu?

Lihatah, naga-naga itu mengejarmu kemari, dan mereka telah mengepung tempat ini. Tetapi beruntunglah kami memiliki pemuda-pemuda hebat, yang terlahir pada waktu kamu pergi berperang. Belajarlah kepada mereka yang memiliki semangat bernyala-nyala, dengan keberanian untuk melindungi tempat ini dari kehancuran. Mengapa kau tidak mengikut jejak Zonul, putraku? Mengapa kau tidak mendengarkan perkataan putra-putra Neyel Pe? Aku menyesal, aku menyesal telah melahirkanmu, sebab kau tidak sungguh-sungguh memberikan jiwamu untuk Sang Terang.”

Jawab Zod Zumen, “Ampunilah aku, wahai ibuku! Ampunilah aku sebab inilah aku! Aku yang pengecut dan kehilangan harapan dan aku tidak layak menggantikan ayahku. Aku memang bodoh dan hanya memikirkan keselamatanku sendiri, sebab aku berpikir, ‘Ah, aku tidak mau mati seperti ayahku.’ Dan aku ingin pulang untuk berlindung di Rumah Agung. sebab aku berpikir, ‘Sang Terang pasti akan melindungiku di sana.’ Sekarang aku tahu bahwa aku telah salah bertindak, oleh karena itu janganlah kau mengutukku. Tetapi katakanlah kepadaku apa yang harus kuperbuat, untuk menebus rasa bersalahku kepadamu!”

Sahut Udror Zed, “Mintalah pengampunan kepada Sang Terang, bukan kepadaku, Akuilah semua kesalahanmu di hadapannya, bukan di hadapanku Sebab kau telah mencoba untuk mengkhianatinya, dengan tidak melakukan perintahnya untuk menyelamatkan Dunia. Tetapi janganlah kau mengangkat senjatamu untuk berperang, sebab kau tidak layak lagi disebut sebagai seorang ksatria Darahmu tidak boleh mengotori tempat suci ini, sebelum Sang Terang mengampuni segala kesalahanmu.”

Kemudian pergilah Zod Zumen dengan rasa menyesal ke Menara Api, memohon pengampunan kepada Sang Terang di depan Api Sucinya. Maka berlututlah ia memohon kepada Sang Terang, “Wahai, Sang Terang Penguasa Nyala Api, Bapa Matahari, Pencipta Dunia ini. Sungguh, betapa hinanya aku di matamu, dan betapa malunya aku di hadapanmu. Sebab betapa besarnya kesalahan yang telah kuperbuat, hingga aku hampir meninggalkanmu Ampunilah aku seperti kau mengampuni Matahari, dan angkatlah aku kembali dari Lubang Kegelapan!

Nyalakanlah kembali cahaya jiwaku, dan tunjukkanlah kepadaku jalanmu yang terang! Sebab aku bukanlah siapapun tanpamu, dan aku bukanlah siapapun tanpa jiwa yang kau berikan. Aku bukanlah siapapun tanpa kebijaksanaan yang kau berikan. dan aku bukanlah siapapun tanpa berkat yang kau berikan. Sebab kemuliaanmu mengatasi gunung-gunung, cahaya terangmu melebihi isi Dunia ini. Hanya kaulah yang empunya kekuasaan terbesar, Yang akan memancar ke seluruh penjuru Bumi. Maka sekarang, aku memohon padamu, izinkanah aku untuk memperbaiki segalanya. Tunjukkanlah kepadaku apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu.”

Tetapi di sela-sela perang semakin hebat, datanglah seorang pemuda datang kepada Udror Zed, Dengan nafas terengah-engah, ia berkata, “Wahai ratuku, apa yang harus kami lakukan selanjutnya? Jumlah kami tinggal sedikit dan kekuatan kami terbatas. Naga-naga itu menyemburkan Wabah Kematian dan membunuh beberapa dari kami. Sesungguhnya kami membutuhkan lebih banyak kekuatan, sedangkan di sini ada banyak perempuan yang harus dilindungi. Mungkinkah kami mendapatkannya dari mereka, yang sedang berduka dan meratapi kematian kekasih mereka Tetapi Wahai ratuku, jika saja mereka mau membantu kami, berhenti berkabung dan bersedia memberikan kekuatan mereka. Berperang bersama kami dan berjuang demi Sang Terang, Niscaya, kita akan memenangkan peperangan ini.”

Kemudian bangkitlah Udror Zed dari duduknya, dan berkata kepada perempuan-perempuan yang berkabung, katanya, “Wahai putri-putri Matahari, apakah sesungguhnya yang kau tangisi? Sia-sialah kau berlama-lama meratapi mereka, sebab kekasih-kekasihmu sudah tidak ada lagi. Tubuh mereka telah disemayamkan di perut Bumi, dan jiwa mereka telah ditempatkan di perut Langit. Dan Sang Waktu telah menakdirkannya untuk mati, mengambil kehidupan dan sisa usia dari mereka. Mereka telah mati dalam pengabdiannya kepada Sang Terang, sehingga seharusnyalah kau berbahagia, bukan menangis. Maka tinggalkanlah perkabunganmu dan ikutlah kami, melanjutkan perjuangan mereka, kekasih-kekasihmu itu. Berikanlah kekuatanmu untuk mengakhiri perang ini, dan balaskanlah kematian kekasih-kekasihmu. Berikanlah seluruh kekuatanmu demi Sang Terang dan berjuanglah demi mereka dan demi Dunia ini.”

Setelah itu di bawah pimpinan Ratu Udror Zed, bangkitlah perempuan-perempuan menghapus air mata mereka, Dan akhirnya mereka menyadari bahwa sia-sialah mereka meratapi kematian kekasih-kekasih mereka. Maka bangkitlah mereka melupakan semua kesedihan mereka, dan bergabunglah mereka dengan ksatria-ksatria muda, putra-putra mereka. Sebagian memperkuat perisai pelindung dari serangan Wabah Kematian sebagian lagi turut serta mengangkat busur panah. Dengan semangat yang membara mereka berperang, untuk membalaskan kematian kekasih-kekasih mereka

Tetapi Zod Zumen pergi seorang diri di menara Api di tengah peperangan sedang yang berkecamuk. Berdirilah ia di depan Nyala Api Suci, dan berkatalah ia kepada Sang Terang, “Aku telah berdosa di hadapanmu, aku telah mengkhianati sumpah setiaku kepadamu. Maka hukumlah aku jika kau mau tetapi aku hanya memohon pengampunan darimu. Aku hanyalah seorang yang tidak berguna lagi, terbuang dari kaumku karena kesalahanku, Maka angkatlah aku dari Lubang Kegelapan ini. Dan terimalah aku kembali sebagai milikmu. Sesungguhnya aku menyesal dan malu, sebab tak ada yang bisa kulakukan di hadapan kaumku. Selain memohon pertolongan daripadamu untuk mengakhiri perang ini dengan kemenangan. Ketahuilah bahwa ribuan jiwa telah dikorbankan yaitu para pahlawan yang telah berjuang untukmu. Sebab kami tidak sebanding dengan musuh-musuh kami dan Keajaiban yang ada pada kami tidak mampu menandingi mereka Maka aku berdiri di sini memohon belas kasihanmu, untuk memimpin kami dalam Masa-masa sulit ini, Cukuplah peperangan yang panjang dan berat ini dan bangkitkanlah Harapan kami yang hampir mati ini.

Aku tahu kau ada di sini, wahai Sang Terang, aku tahu kau sedang mendengarkan perkataanku. Tidakkah kau lihat Dunia yang telah kau ciptakan dihancurkan, dan tidakkah kau merasakan penderitaan makhluk-makhluknya? Sebab aku tahu bahwa Dunia ini sangat berharga di matamu dan tidak layak untuk dibinasakan oleh siapapun. Wahai kau yang senantiasa memancarkan sinar terang, yang memberikan kehidupan pada setiap makhluk. Dengarkanah permohonanku ini, wahai pemilik Jiwaku, Janganlah kau berlalu daripadaku seolah-olah tidak mendengarkanku.”

Tetapi tiba-tiba datangah seekor Naga kelabu yang sangat besar, bahkan lebih besar daripada ukuran Naga-naga yang lain. Terbang melintas di bawah Langit yang gelap, Menyemburkan kebekuan bagi Bumi yang dilewatnya. Ketika ia tiba bersama penunggangnya, Naga-naga yang lain menghentikan serangannya. Berserulah penunggang-penunggangnya, “Sudah jatuh, sudah jatuhlah kejayaan putra-putra Matahari. Bersama dengan musnahnya Dunia ini. Sebab Sang Terang telah mengkhianati mereka dan membiarkan mereka jatuh semakin dalam. Inilah saatnya Kegelapan menguasai Dunia dan membungkusnya dalam bayang-bayang abadi. Siapa yang tidak berada di pihaknya akan mengalami penderitaan. Dan siapa yang melawannya akan berhadapan dengan kematian. Inilah pemimpin kami, Menzeg sang perkasa, Yang diberi kuasa oleh Penguasa Malam untuk membinasakan Dunia Dan menjadikan segala makhluk takluk padanya.”

Kemudian turunlah penunggang Naga kelabu itu dari punggung Naganya, Berkatalah ia, “Wahai Putra-putra Matahari, masih bersinarkah engkau di dalam bayang-bayang Kematian? Lihatlah cahayamu sudah hampir padam dan Kegelapan akan segera menguasaimu! Ketahuilah bahwa tidak akan ada lagi hari esok dan Matahari tidak akan lagi diahirkan oleh Pagi. Malam akan menguasai hari-harimu sebab Sang Terang, pujaanmu sudah mati. Aku tahu kamu telah lelah melakukan semuanya ini, berperang seorang diri demi sesuatu yang telah mati. Ya, Sang Terang, pujaanmu telah mati, dan cahayanya telah padam seperti Matahari.

Inilah saatnya bagi kamu untuk menyerah menyerahkan jiwamu kepada yang hidup, bukan yang mati. Ia akan memberikan kamu jiwa yang baru, dan ia perang ini akan segera diakhiri. Sesungguhnya aku tidak ingin memusnahkan kamu, sebab dahulu kamu adalah saudara-saudaraku. Yang dilahirkan dari rahim Musim Semi, sebagai makhluk mulia dengan jiwa yang bersinar. Tetapi sekarang lihatlah aku, Menzeg tercipta kembali sebagai makhluk paling mulia. Sang Penguasa Kegelapan telah membentukku dan memberikan jiwa yang baru kepadaku. Maka berpalinglah kamu kepadanya, kepada sang pemberi jiwa yang baru! Supaya kita bisa bersatu lagi seperti dahulu dan bersama-sama berkuasa atas Dunia ini. Binatang-binatang akan tunduk kepada kita, dan Naga-naga tidak akan memburu kamu lagi. Dunia akan damai tanpa peperangan lagi, dan tidak ada seberkas cahaya lagi di dalamnya.”

Kemudian atas nama kaumnya, Udror Zed menjawab, “Kami berhak menentukan nasib kami, dan kami berhak untuk melakukan apa yang ingin kami lakukan. Kami sekali-kali tidak akan berpaling kepadanya, yang telah membuat cahaya jiwamu padam. Kami akan terus berperang melawanmu, Menzeg, meskipun kami harus kehilangan segalanya. Sebab kami tahu bahwa jiwa yang kami miliki sangatlah berharga, anugerah termulia yang tidak akan kami tukar dengan apapun. Dan kami tahu bahwa selama Api Suci masih menyala, Sang Terang tidak akan meninggalkan kami.”

Mendengar hal itu marahlah Menzeg, raja para Setan, dan ia menerima tantangan Udror Zed. Maka dikendarainyaah kembali Naga kelabu raksasanya dikuti oleh ratusan Naga bersama penunggang-penunggangnya. Mereka menyemburkan Wabah Kematian dan Kebekuan di segala penjuru, membuat tubuh para ksatria mati membeku. Hawa dinginnya melebihi dinginnya Angin Musim Dingin, tetapi tidak menggentarkan jiwa Udror Zed dan pengikut-pengikutnya.

Berkatalah ia yang berada di punggung Naga kelabu itu, “Sekarang tahukah kau siapa yang lebih berkuasa atas dirimu? Aku telah membuat jiwa kaummu padam dalam kebekuan Dan sebentar lagi Nyala Api Sucimu akan kupadamkan. Maka membatulah bersama kaummu untuk selama-lamanya.”

Dengan sisa tenaganya, berjuangah Udror Zed membuat perisai Keajaiban untuk melindungi tubuhnya dari nafas kebekuan Sang Naga. Tetapi akhirnya Udror Zed kalah dan mati dalam kebekuan, bersama dengan pahlawan-pahlawan kebanggannya.

Tiba-tiba terdengarlah suara nyaring dari Menara Api, Zod Zumen mengumpulkan keberaniannya menantang Menzeg, “Jika kau ingin memadamkan Api ini, kau harus melaluiku terlebih dahulu. Aku adalah hamba Sang Terang, penjaga Api Suci, dan Nyala Api ini tidak boleh padam.”

Kemudian Naga-naga beserta penunggangnya berpaling ke arah Menara dan mereka sangat marah dan menyerang Zod Zumen. Zod Zumen mengumpulkan kekuatannya dan membuat perisai untuk menahan serangan Wabah Kematian dari mulut Naga-naga. Berkatalah Menzeg, “Siapakah dirimu sehingga kau menantangku? Siapakah dirimu sehingga kau mau melawanku? Apakah kau ingin aku membinasakanmu seperti yang kulakuan terhadap kaummu? Lihatlah, kau hanya berjuang seorang diri, dan tidak ada yang membantumu. Sia-sialah kau mempertahankan Api itu, sebab Naga-nagaku pasti akan membunuhmu terlebih dahulu.”

Zod Zumen menjawab, “Aku tidak takut kepada siapapun, meskipun aku tinggal seorang diri. Aku tidak boleh mati dan Apinya tidak boleh padam.” Tetapi terkuraslah sebagan besar kekuatan Zod Zumen sehingga semakin lemaslah ia. Kakinya sudah tidak mampu berdiri dan ia sudah tidak kuat mengangkat kedua tangannya. Ia bergumam, “Aku tidak boleh mati dan Apinya tidak boleh padam.”

Menzeg memerintahkan Naga-naga menghentikan serangannya dan menawarkan sesuatu kepada Zod Zumen, “Apakah kau ingin segera mengakhiri penderitaanmu? Apakah kau ingin peperangan ini segera berakhir? Apakah kau ingin tetap hidup dan tidak binasa bersama kaummu? Dan apakah kau ingin mendapatkan kekuatan baru? Berpalinglah daripadanya dan ikutlah aku, sebab aku akan mengenalkanmu kepada Penguasa Kegelapan, Dia yang akan memenangkan peperangan ini. dan akan memberikan jiwa dan kekuatan baru kepadamu.”

Kemudian rebahlah Zod Zumen di lantai dan ia menemukan sebuah anak panah tergeletak di dekatnya. Disimpannya senjata itu di balik lengan jubahnya, dan berkatalah ia, “Ya. Aku ingin segera mengakhiri semuanya dan tak ada harapan lagi bagiku untuk hidup. Sang Terang sudah tidak lagi memedulikanku, untuk apa aku berjuang demi dia? Turunlah dari Nagamu dan topanglah tubuhku, sambutlah aku sebagai saudara barumu!”

Maka turunlah Menzeg dari Naganya, dan membantu Zod Zumen berdiri. Tetapi Zod Zumen menikam jantungnya dengan anak panah, dan berbisik di telinganya, “Aku tidak akan mengkhianatinya untuk kedua kalinya.”

Serta merta menjeritlah Menzeg dengan suara nyaring, tetapi tiba-tiba sesuatu yang dingin menembus tubuh Zod Zumen. Zod Zumen hanya merasakan sekujur tubuhnya membeku, penderitaan yang hebat telah menghujam daging dan tulangnya. Berkatalah Menzeg, “Aku sudah tahu apa yang tersembunyi di balik lengan jubahmu, dan aku sudah menduga kau akan melakukannya terhadapku. Mungkin anak panahmu hanya bisa melukaiku, tetapi pedang esku akan segera mengakhiri hidupmu.”

Tiba-tiba terdengarlah suara nyaring dari arah Barat, mengejutkan Naga-naga beserta penunggang-penunggangnya. Putra-putra Neyel Pe telah datang dari Daratan Bumi, bersama dengan Api di tangan mereka “Kau tidak akan memadamkan Nyala Api itu, sebab Apiku akan membinasakanmu terlebih dahulu.” Kemudian ribuan panah api dilesatkan ke udara mengenai sayap beberapa Naga yang sedang terbang. Maka terbakarlah sebagian besar Naga beserta penunggangnya Dan beberapa mati karenanya.

Tetapi panah-panah api itu tidak membakar Naga Menzeg, bahkan nafasnya mampu memadamkan api Naga-naga yang sedang terbakar. Kemudian memberontaklah Naga-naga itu melawan putra-putra Neyel Pe menyemburkan Wabah Kematian atas diri mereka. Maka dengan sekuat tenaga mereka mencoba bertahan, menciptakan perisai Api sebagai perlindungan. Wabah Kematian tidak mampu menembusnya, dan memantul ke arah Naga-naga yang menyemburkannya. Uru Enzu dan Uru Elzu menembakkan ratusan anah panah, dan membinasakan Naga-naga yang mengepung mereka. Gulen dan Lyos melemparkan bola-bola Api ke segala penjuru, dan semakin banyaklah naga-naga yang mati karenanya.

Maka semakin beranglah Menzeg melihat hal itu, sehingga ia memerintahkan Naganya menyemburkan nafasnya. Perisai Api tidak mampu melindungi para ksatria, dan Hawa Dingin telah memadamkannya. Kemudian bersatulah mereka mengumpulkan kekuatan, menciptakan bola Api raksasa dan melemparkannya ke dalam mulut sang Naga. Tetapi ratusan Naga tiba dari Barat menyemburkan Wabah Kematian, dan mengenai mereka sebelum mereka melakukannya.

Dan matilah putra-putra Neyel Pe dan putra-putra Melutey, bersama dengan sirnanya Harapan yang dimiliki mereka, Naga-naga kembali menguasai Rumah Agung, dan Nyala Api Suci telah dipadamkan.